Senin, 10 Oktober 2011

Sejarah Recall di Indonesia

Sejarah Recall di Indonesia | Rudy Tonubessi


Sejarah Recall di Indonesia
Oleh: Rudy Tonubessi

Pengaturan recall dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami dinamika pasang-surut. Penelusuran terhadap sejumlah referensi diperoleh sedikit gambaran mengenai hal itu. Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, tidak ditemukan satu pasal pun yang mengatur tentang recall. Walaupun tidak diatur di dalam UUD tersebut, dalam prakteknya recall diberlakukan dengan merujuk pada ketentuan undang-undang. Namun, seiring dengan tuntutan era reformasi yang menghendaki penguatan eksistensi lembaga perwakilan rakyat, ketentuan tentang recall dihilangkan, walaupun beberapa saat kemudian recall dihidupkan kembali melalui amandemen kedua UUD 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001.
Selain UUD 1945, dua konstitusi yang pernah diberlakukan, yakni Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) maupun Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950, tidak ditemukan ketentuan yang mengatur tentang recall. UUDS Tahun 1950 hanya mengatur tentang hak setiap anggota DPR untuk meletakkan jabatannya dan terlebih dahulu diberitahukan kepada Ketua DPR.  Demikian pula Konstitusi RIS Tahun 1949 tidak mengatur tentang recall dan hanya menjamin hak bagi setiap anggota Senat untuk dapat meletakkan jabatannya dengan terlebih dahulu memberitahukan lewat surat kepada Ketua Senat.
Pengaturan recall dalam khasanah ketatanegaraan Republik Indonesia diawali sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Terdapat empat pasal dalam Undang-Undang tersebut yang berkaitan dengan recall, yakni: Pasal 4, Pasal 5, Pasal 13, dan Pasal 43. Ketentuan Pasal 4 menegaskan sebab-sebab seorang anggota MPR berhenti antarwaktu, sementara ketentuan Pasal 5 menegaskan bahwa pemberhentian anggota MPR diresmikan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan Pasal 13 terdiri atas empat ayat, menjadi landasan hukum untuk memberhentikan seorang anggota DPR dari jabatannya. Adapun sebab-sebab seorang anggota MPR berhenti antarwaktu,  dan berlaku juga bagi anggota DPR maupun DPRD, yaitu:

(a) meninggal dunia; (b) atas permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR; (c)  bertempat tinggal di luar wilayah Negara Republik Indonesia; (d) berhenti sebagai anggota DPR; (e) tidak memenuhi lagi syarat-syarat tersebut dalam pasal 2 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib; (f) dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai anggota MPR dengan keputusan MPR; (g) diganti menurut pasal 43; dan (h) terkena larangan perangkapan jabatan menurut Bab V.

Hak melakukan recall menurut Undang-Undang tersebut ada pada organisasi peserta pemilihan umum. Ketentuan dimaksud ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Hak mengganti utusan/wakil organisasi peserta pemilu dalam badan permusyawaratan/perwakilan rakyat ada pada organisasi peserta pemilu yang bersangkutan dan dalam hal pelaksanaan tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan pimpinan badan permusyawaratan/perwakilan rakyat yang bersangkutan." Walaupun dalam pelaksanaan pergantian anggota MPR/DPR terlebih dahulu harus dimusyawarahkan antara organisasi peserta pemilihan umum dengan pimpinan MPR/DPR/DPRD, namun dengan ketentuan seperti tersebut, organisasi peserta pemilihan umum memiliki kewenangan penuh untuk memberhentikan anggota MPR/DPR serta menggantikannya dengan calon lainnya dari organisasi peserta pemilihan umum yang bersangkutan.
Pengaturan tentang recall hanya tercantum dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Undang-Undang yang mengatur tentang Organisasi Peserta Pemilihan Umum, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, maupun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, sama sekali tidak ditemukan pengaturan tentang recall.
Runtuhnya Orde Baru turut mempengaruhi pengaturan recall dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Pelaksanaan recall yang dipandang sewenang-wenang pada era Orde Baru mendorong para Pembentuk Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, untuk menghapus recall dan tidak memberikan ruang kepada partai politik untuk menarik anggotanya dari lembaga legislatif. Semangat menghilangkan kewenangan partai politik untuk melakukan recall diarahkan dalam rangka penguatan lembaga perwakilan sebagai pengemban amanat rakyat. Namun suasana tanpa “hantu” recall ini hanya berlangsung selama lebih-kurang dua tahun. Melalui amandemen kedua UUD 1945 yang berlangsung pada tahun 2001, recall dihidupkan kembali.  Pengaturan tentang recall dalam UUD 1945, ditegaskan dalam Pasal 22B yang berbunyi: "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang."
Amanat ketentuan Pasal 22B UUD 1945 tersebut mengharuskan pihak Pembentuk Undang-Undang untuk menjabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang. Pengaturan recall tidak saja dicantumkan dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD saja sebagaimana pada era Orde Baru, tetapi juga termuat dengan tegas di dalam Undang-Undang tentang Partai Politik.
Terdapat beberapa Undang-Undang di Era Reformasi yang mengatur tentang Recall. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD merupakan produk Undang-Undang pertama di Era Reformasi yang mengatur tentang recall. Kemudian terbentuknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik hingga Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, semakin memperkukuh eksistensi Recall dalam khasanah ketatanegaraan Republik Indonesia dewasa ini. Sesuai pengaturan recall di dalam Undang-undang dimaksud, partai politik memiliki kewenangan untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD dan menggantikannya dengan calon lain dari partai politik yang bersangkutan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar