Senin, 03 Oktober 2011

Recall: Kedaulatan Parpol vs Kedaulatan Rakyat

Recall: Kedaulatan Parpol vs Kedaulatan Rakyat| Rudy Tonubessi



R e c a l l:
Kedaulatan Parpol vs Kedaulatan Rakyat

Oleh: Drs. Rudy Tonubessi, S.H., M.Si.


Pemilihan umum (pemilu) dan partai politik (parpol) merupakan dua unsur penting dalam negara demokrasi. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, sementara parpol merupakan sarana perjuangan politik rakyat. Melalui pemilu, para calon wakil rakyat yang diusung oleh parpol dipilih secara langsung oleh rakyat. Parpol-parpol yang “mendulang” suara secara proporsional akan memperoleh kursi di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD). Orang-orang yang menempati kursi tersebut adalah Calon Wakil Rakyat yang memperoleh suara terbanyak secara berturut-turut, sesuai “jatah” perolehan kursi dari Parpol yang bersangkutan. Pertanyaannya: jika rakyat yang memilih untuk menjadi wakil rakyat, mengapa recall mutlak menjadi kewenangan parpol tanpa melibatkan rakyat?

Pemilu dalam Negara Demokrasi
Salah satu syarat terselenggaranya pemerintahan demokratis adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Jimly Asshiddiqie menulis empat tujuan pemilu, yaitu: (i) untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; (ii) untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; (iii) untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan (iv) untuk melaksanakan prinsip-prinsip hak asasi warga negara.
Melalui pemilu, rakyat memperoleh kebebebasan menggunakan hak memilih dan hak dipilih untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam konteks pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD, hak memilih warga negara digunakan untuk memilih orang-orang yang dicalonkan oleh parpol untuk duduk dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD) guna mewakili rakyat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hak dipilih digunakan oleh sebagian warga negara yang ikut terlibat dalam kompetisi menjadi wakil rakyat.
Mewakili rakyat berarti bahwa anggota DPR/DPRD dalam menjalankan peran dan fungsinya di lembaga perwakilan rakyat, harus benar-benar bertindak untuk dan atas nama rakyat, memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara umum, dan bukan bertindak hanya untuk kelompok-kelompok tertentu. Dalam menjalankan wewenang, tugas, fungsi, hak dan kewajiban sebagai wakil rakyat, Anggota DPR/DPRD harus senantiasa bertindak sesuai dengan kehendak rakyat. Hal tersebut mutlak dilakukan oleh karena kekuasaan yang mereka peroleh bersumber dari rakyat yang empunya kedaulatan dalam negara demokrasi.

Rekrutmen Wakil Rakyat
Tampilnya para Wakil Rakyat (Anggota DPR/DPRD) di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD) melalui dua tahap rekrutmen, yaitu: (i) pada tingkat partai politik, dan (ii) dipilih oleh rakyat (pemilih) dalam pemilihan umum. Setiap warga negara yang dipandang memenuhi syarat untuk dipilih harus melalui proses rekrutmen di tingkat parpol peserta pemilu sebagai bentuk implementasi dari ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DRPD adalah partai politik. Prakteknya, Warga Negara yang dipandang memenuhi syarat menjadi calon Anggota DPR/DPRD direkrut oleh Parpol yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu. Selanjutnya para calon Anggota DPR/DPRD tersebut akan dipilih oleh rakyat pemilih melalui pemilu, dan calon yang terpilih akan berperan mewakili kepentingan rakyat di lembaga DPR/DPRD. Proses rekrutmen seperti ini menegaskan bahwa eksistensi Wakil Rakyat tidak saja memiliki “hubungan emosional” dengan parpol, tetapi juga dengan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Konsekuensinya, kontrol terhadap kinerja para Anggota DPR/DPRD pun hendaknya tidak dapat terlepas dari dua pihak (rakyat dan parpol) yang telah “berjasa” menghantarkan para calon Anggota DPR/DPRD  menjadi Wakil Rakyat.
Praktek empirik, saat rekrutmen calon Anggota DPR/DPRD oleh Parpol untuk dipilih oleh rakyat melalui Pemilu, tercipta hubungan hukum yang kuat antara keduanya. Saat terpilih oleh rakyat menjadi Anggota DPR/DPRD, hubungan hukum antara rakyat dan Anggota DPR/DPRD menjadi “ngambang”. Gambaran ini nampak dalam proses Recall, di mana parpol memiliki kewenangan mutlak tanpa melibatkan rakyat yang secara politis telah memberikan mandat melalui pemilu kepada calon terpilih untuk bertindak mewakili rakyat di lembaga DPR/DPRD. 

Recall di Indonesia
Secara normatif recall dalam peraturan per-UU-an di Indonesia dikenal dengan istilah Pemberhentian Antar Waktu (PAW). Pasal 22B UUD 1945 menyatakan: “Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”.  Pengaturan lebih lanjut tentang PAW ditegaskan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 213 ayat (1), Pasal 332 ayat (1), dan Pasal 383 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Terdapat tiga sebab, seorang  anggota DPR/DPRD berhenti antarwaktu, yaitu: (i) meninggal dunia; (ii) mengundurkan diri; atau (iii) diberhentikan.
Berhenti antarwaktu karena meninggal dunia tidak dapat dielakkan, sementara berhenti antarwaktu karena mengundurkan diri merupakan motif subjektif anggota DPR/DPRD. Sedangkan  berhenti antarwaktu karena diberhentikan, diatur secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 213 ayat (2), Pasal 332 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut memuat alasan-alasan yang dapat menyebabkan seseorang anggota DPR/DPRD diberhentikan dari jabatannya sebagai angota DPR/DPRD, salah satunya adalah: “diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Beberapa kasus recall terhadap anggota DPR maupun anggota DPRD yang terjadi di Indonesia karena alasan diusulkan oleh parpol. Tidak jarang pula penggunaan alasan tersebut hanya karena wakil rakyat tersebut dipandang tidak melaksanakan kebijakan partai atau pun terlalu kritis terhadap kekuasaan pemerintah, apalagi jika orang yang memerintah itu berasal dari partai yang sama. Tidak heran jika istilah recall dalam khasanah perpolitikan di Indonesia didefinisikan sebagai “penarikan kembali anggota DPR/DPRD oleh induk partainya, karena dinilai melakukan penyimpangan, menentang kebijakan partai, konflik dengan pengurus partai atau terlalu kritis pada pemerintah yang tidak sesuai dengan kebijakan partai.”

Kewenangan Recall Anggota DPR/DPRD
Terdapat dua institusi yang memperoleh kewenangan mengusulkan pemberhentian Anggota DPR/DPRD, yaitu: (i) Partai politik, dan (ii) Badan Kehormatan DPR/DPRD. Kewenangan parpol untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD dituangkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 214, Pasal 333, dan Pasal 384 UU No. 27 Tahun 2009. Sedangkan kewenangan Badan Kehormatan DPR/DPRD untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD ditegaskan dalam ketentuan Pasal 215, Pasal 334, dan pasal 385 UU No. 27 Tahun 2009.  Kedua institusi ini ibarat lembaga super-body yang memiliki kewenangan amat besar untuk mengusulkan pemberhentian Anggota DPR/DPRD, bahkan dapat dikatakan bahwa kedua institusi tersebut telah “merampas” kedaulatan rakyat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menegaskan bahwa penentuan calon Anggota DPR/DPRD terpilih berdasarkan suara terbanyak merupakan suatu sikap konstitusional yang hendak menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.  Dalam prakteknya, rakyat – Sang Pemilik Kedaulatan –  di Negara ini yang telah menyatakan kedaulatannya untuk memilih para wakil rakyat, tidak memiliki kewenangan untuk mempertahankan orang yang telah dipilih menjadi wakil rakyat dari tindakan parpol dalam melakukan recall terhadap anggota DPR/DPRD. Teringat sepenggal kalimat yang diungkapkan oleh C. F. Strong: “jika rakyat diberi kekuasaan untuk memilih seorang wakil rakyat, mengapa mereka tidak pula diberi hak untuk memberhentikan wakil rakyat itu jika menurut rakyat gagal dalam menjalankan tugasnya?  Bukankah suatu hak tersebut merupakan dampak dari hak lainnya?”
Untuk kita renungkan: Apakah anggota DPR/DPRD di Negara ini adalah wakil rakyat atau wakil partai politik?. Jawabannya tergantung pada kemauan politik Pembentuk Undang-Undang di Negara ini.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar