Rudy Tonubessi
"tak harus menang, tapi harus benar"
Sabtu, 05 November 2011
Selasa, 01 November 2011
Fungsi Recall
Fungsi Recall
Oleh: Rudy Tonubessi
Recall di sini dimaknai sebagai hak partai politik untuk menarik kembali atau
mengusulkan pemberhentian anggota DPR/DPRD dari jabatannya sebelum masa jabatan
anggota DPR/DPRD yang bersangkutan berakhir. Terkait dengan kategori
alasan-alasan yang dapat menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan,
kehadiran lembaga recall paling tidak
memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai sarana kontrol terhadap kinerja dan
integritas Anggota DPR/DPRD; dan (ii) menjadi “senjata politik” bagi elite partai politik untuk “membunuh”
anggota DPR/DPRD yang dipandang berseberangan dengan kebijakan partai politik
yang bersangkutan. Fungsi recall yang
pertama tidak banyak diperdebatkan, namun fungsi recall yang kedua memunculkan sejumlah diskursus terutama dalam
ilmu hukum, dan ilmu politik.
Munculkan diskursus tersebut, ketika hak recall diberikan kepada partai politik melalui Undang-Undang
tentang Partai Politik. Partai politik dapat me-recall DPR/DPRD dengan terlebih dahulu diberhentikan dari
keanggotaan partai politik hanya dengan alasan anggota tersebut melanggar
AD/ART partai politik yang bersangkutan. Pemberhentian sebagai anggota partai
politik dapat ditindaklanjuti oleh pimpinan partai politik untuk mengusulkan pemberhentian
anggota DPRD/DPRD kepada pimpinan DPR/DPRD. Penggunaan hak recall oleh partai politik ini menjadi menarik untuk dikaji oleh
karena hak recall partai politik
cenderung digunakan atas dasar pertimbangan politis semata untuk menyingkirkan
anggota DPR/DPRD yang terlampau vokal dan bertindak di luar kebijakan partai
politik yang bersangkutan. Elite
partai politik cenderung memainkan “kartu as” recall untuk menaklukkan anggota DPR/DPRD di bawah kedaulatan
partai politik, dan cenderung mengabaikan kedaulatan rakyat.
Sarana Kontrol Kinerja dan Integritas Anggota
DPR/DPRD
Tuntutan agar para wakil rakyat (anggota DPR/DPRD) menunjukkan kinerja
serta integritas yang baik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Keharusan
ini merupakan suatu konsekuensi dari setiap orang yang tampil menjadi pejabat
publik yang dipilih oleh rakyat secara langsung guna terlibat dalam pengambilan
keputusan Negara demi kesejahteraan masyarakat secara umum. Patrick J. Dobel mengedepankan tujuh
prinsip integritas publik yang harus dijalankan oleh setiap pejabat publik,
yaitu:
(i) pejabat
publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang melegitimasi
kekuasaan pemerintah yang konstitusional dengan menghormati setiap warga negara
sebagai yang memiliki martabat, hak-hak asasi, dan kesetaraan di depan hukum;
(ii) pejabat publik harus menyetujui untuk menomorduakan keputusan pribadi
dengan menghargai hasil dari proses yang sah secara hukum dan sesuai dengan
pertimbangan profesional; (iii) mereka harus akuntabel terhadap semua tindakan baik
terhadap atasan maupun publik, serta jujur dan tepat ketika
mempertanggungjawabkannya; (iv) mereka harus bertindak secara kompeten dan
efektif dalam mencapai tujuan dengan batas-batas yang sudah ditetapkan; (v)
mereka harus menghindari favoritisme, berusaha independen dan objektif dengan
tetap mendasarkan pada alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil
keputusan; (vi) mereka setuju untuk menggunakan dana publik secara hati-hati
dan efisien untuk tujuan-tujuan yang telah disetujui, bukan untuk kepentingan
pribadi atau kelompoknya; (vii) mereka harus menjaga kepercayaan dan legitimasi
lembaga-lembaga Negara.
Tujuh prinsip integritas publik yang dikemukakan Patrick J. Dobel di atas, harus dijadikan konsensus etis antara
rakyat dan wakil rakyat. Konsensus etis tersebut merupakan konsekuensi dari
proses pemilihan umum di mana rakyat – sang pemilik kedaulatan – telah memilih
secara langsung para wakil rakyat yang akan bertindak mewakili rakyat dalam
berbagai proses pengambilan keputusan dan kebijakan Negara. Hal ini perlu untuk
mengarahkan tanggungjawab bagi setiap pejabat publik (termasuk anggota
DPR/DPRD) agar menunjukkan tindakan-tindakan yang harus dipenuhi dalam rangka
peningkatan kualitas pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Karenanya,
sejumlah alasan yang dapat menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, memiliki relevansi dengan ketujuh prinsip integritas publik.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, empat kategori alasan yang
menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan antarwaktu (recall), yaitu: (i) administratif, (ii)
berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD, (iii) hukum dan (iv)
politis. Kategori alasan administratif, dan alasan yang berkaitan dengan
kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD merupakan kewenangan Badan Kehormatan
DPR/DPRD untuk melakukan kontrol atas semua tindakan dan keadaan yang dijalani
oleh anggota DPR/DPRD. Sedangkan kategori alasan hukum serta alasan yang
bersifat politik merupakan kewenangan dari pimpinan partai politik untuk
melakukan kontrol dan penilaian terhadap anggotanya yang duduk dalam lembaga
perwakilan rakyat (DPR/DPRD).
Alasan yang bersifat administratif, yakni jika anggota DPR/DPRD tidak
lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR/DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemilihan umum anggota DPR. DPD, an DPRD. Syarat-syarat sebagai calon
anggota DPR/DPRD dimaksud adalah:
(i) Warga
Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; (ii)
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (iii) bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; (iv) cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam
bahasa Indonesia; (v) berpendidikan paling rendah tamat SMA, MA, SMK, MAK, atau
bentuk lain yang sederajat; (vi) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (vii) tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih; (viii) sehat jasmani dan rohani; (ix) terdaftar
sebagai pemilih; (x) bersedia bekerja penuh waktu; (xi) mengundurkan diri
sebagai PNS, anggota TNI, anggota POLRI, pengurus pada BUMN dan/atau BUMD,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang
dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
(xii) bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR/DPRD sesuai peraturan
perundang-undangan; (xiii) bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai
pejabat negara lainnya, pengurus pada BUMN, dan BUMD, serta badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara; (xiv) menjadi anggota Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum; (xv) dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga
perwakilan; dan (xvi) dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
Alasan-alasan yang berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota
DPR/DPRD memuat hal-hal yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab moral
setiap anggota DPR/DPRD untuk menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya secara
optimal. Terdapat 4 (empat) alasan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan
berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD, yaitu:
(i) Tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
anggota DPR/DPRD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; (ii) melanggar
sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR/DPRD; (iii) tidak menghadiri rapat
paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR/DPRD yang menjadi tugas dan
kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; (iv) dan
melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Terdapat sejumlah ketentuan larangan bagi setiap anggota DPR/DPRD.
Hal-hal yang dilarang untuk tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota DPR/DPRD
yang dapat menyebabkan pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD, yaitu:
(i) merangkap
jabatan sebagai: pejabat negara atau pejabat daerah lainnya; hakim pada badan
peradilan, atau PNS, anggota TNI/POLRI, pegawai pada BUMN, BUMD, atau badan
lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD; (ii) melakukan pekerjaan
sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik,
konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR/DPRD serta hak sebagai anggota
DPR/DPRD; dan (iii) melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang
menerima gratifikasi.
Alasan hukum karena anggota DPR/DPRD dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sedangkan alasan yang bersifat politis sangat bergantung atas kontrol dan
penilaian pimpinan partai politik terhadap anggotanya yang sedang menjabat
sebagai anggota DPR/DPRD. Alasan pemberhentian anggota DPR/DPRD yang
dikategorikan sebagai alasan politis ini merupakan fungsi recall sebagai “senjata politik” elite partai akan dibahas pada bagian berikut.
Pilihan setiap orang untuk untuk bertarung dalam pemilihan umum merebut
kursi wakil rakyat bukan semata-mata untuk memperoleh posisi sebagai pejabat
publik, namun diikuti oleh suatu tanggung jawab moral untuk mengemban amanat
penderitaan rakyat. Adanya lembaga perwakilan dalam suatu negara demokrasi,
bukan disediakan untuk orang-orang yang ingin berkuasa, tetapi untuk
menjalankan tanggungjawab memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara umum.
Karena itu, untuk menjaga agar wewenang, tugas dan fungsi yang harus dijalankan
oleh orang-orang yang memperoleh kepercayaan rakyat menjadi anggota DPR/DPRD,
sejumlah norma konkrit ditegaskan guna mengoptimalkan semua tanggungjawab yang
teremban di pundak setiap orang yang terpilih menjadi wakil rakyat.
Mencermati larangan, serta alasan-alasan yang dapat menyebabkan anggota
DPR/DPRD diberhentikan antarwaktu, pelaksanaan recall merupakan sesuatu hal yang wajar. Dapat dibayangkan jika
lembaga recall ditiadakan, di mana
tidak ada mekanisme pemberhentian anggota DPR/DPRD sekalipun mereka melakukan
kesalahan. Karena itu, keberadaan lembaga recall
diperlukan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja dan integritas anggota
DPR/DPRD. Anggota DPR/DPRD yang di-recall karena alasan kinerja dan
integritas anggota DPR/DPRD dipandang telah mengingkari eksistensi dirinya
sebagai pengemban amanat rakyat yang harus berjuang meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat melalui peran dan fungsi lembaga DPR/DPRD. Dengan demikian
jika terpenuhi salah satu syarat recall,
anggota DPR/DPRD tersebut dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Hal ini
sejalan dengan eksistensi dari suatu negara hukum, di mana kehadiran hukum
untuk membatasi kekuasaan yang selalu memiliki kecenderungan untuk
disalahgunakan sebagaimana ungkapan yang dikemukakan oleh Lord Acton, yakni: “manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula (power tends to corrupt, but absolute power
corrupts absolutely)”.
Sebagai “Senjata Politik” Elite Partai
Hak recall diberikan pula
kepada partai politik melalui Undang-Undang tentang Partai Politik. Ketentuan
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, memberikan
kewenangan kepada partai politik untuk dapat me-recall anggotanya yang duduk di lembaga DPR/DPRD dengan alasan
anggota tersebut melanggar Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
partai. Pemberhentian sebagai anggota partai politik ini diikuti dengan
pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD.
Beberapa alasan tersebut dipandang wajar dalam melakukan recall. Terdapat dua alasan yang
dipandang kental memiliki muatan politis, yakni: (i) “diusulkan oleh partai
politiknya…” dan (ii) “diberhentikan sebagai anggota partai politik …”. Terkait
dengan dua alasan ini, referensi yuridis yang dapat digunakan oleh partai
politik adalah bahwa anggota melanggar ketentuan Anggaran Dasar, dan Anggaran
Rumah Tangga partai. Hal
inilah yang menjadi titik pangkal permasalahan, di mana hak recall partai politik cenderung didasarkan
atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap tindakan
anggotanya yang menjadi anggota DPR/DPRD diluar garis kebijakan partai,
maka partai politik akan
me-recall-nya dari keanggotaan
DPR/DPRD.
Penggunaan hak recall partai politik, secara empirik relatif banyak digunakan
untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD yang dinilai
tidak
tunduk pada kebijakan partai. Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa hak recall partai politik menjadi sebuah bayang-bayang
ancaman yang mengintimidasi – walau pun tidak secara langsung – anggota DPR/DPRD untuk menyuarakan
aspirasi konstituennya. Hak Recall partai
politik
seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan anggota DPR/DPRD untuk berekspresi
dan bertindak sesuai hati nuraninya. Kekuasaan elite partai politik begitu besar sehingga para anggotanya yang
menjadi anggota DPR/DPRD “dipaksa” untuk menundukkan diri pada kekuasaan elite partai. Kadangkala pertimbangan-pertimbangan
politis yang cenderung mendukung suatu kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali
menjadi sebab di-recall-nya seorang anggota DPR/DPRD yang justru bersikap
vokal dan kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Tidak jarang ditemui recall
menjadi sarana efektif para elite partai untuk menyingkirkan
anggota DPR/DPRD yang berseberangan dengan kepentingan para elite partai politik. Akibatnya eksistensi anggota DPR/DPRD sangat tergantung pada selera para elite partai,
sehingga menggeser orientasi anggota DPR/DPRD menjadi penyalur kepentingan para elite
partai, padahal keberadaan anggota DPR/DPRD
bukan karena penunjukan partai politik, tetapi karena
dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, bebas, jujur dan
adil. Praktek
seperti ini yang mendasari lahirnya pengertian Recall dalam khasanah perpolitikan Negara Republik Indonesia
sebagai: “penarikan kembali
anggota DPR/DPRD oleh induk partainya, karena dinilai melakukan penyimpangan,
menentang kebijakan partai, konflik dengan pengurus partai atau terlalu kritis
pada pemerintah yang tidak sesuai dengan kebijakan partai.” Di sinilah letaknya hak recall partai politik dijadikan sebagai
“senjata politik” para elite partai
untuk “membunuh” anggota DPR/DPRD yang dinilai tidak sejalan dengan “keinginan”
dan “kemauan” para elite partai.
Celah hukum yang digunakan oleh para elite
partai untuk men-justifikasi tindakan
tersebut hanya dengan alasan melanggar ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga partai politik bersangkutan.***
Jumat, 28 Oktober 2011
Senin, 10 Oktober 2011
Sejarah Recall di Indonesia
Sejarah Recall di Indonesia | Rudy Tonubessi
Sejarah Recall
di Indonesia
Oleh: Rudy
Tonubessi
Pengaturan recall dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia mengalami dinamika
pasang-surut. Penelusuran terhadap sejumlah referensi diperoleh
sedikit gambaran mengenai hal itu. Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, tidak
ditemukan satu pasal pun yang mengatur tentang recall. Walaupun tidak diatur di dalam UUD tersebut, dalam
prakteknya recall diberlakukan
dengan merujuk pada ketentuan undang-undang. Namun, seiring dengan
tuntutan era reformasi
yang menghendaki penguatan eksistensi lembaga perwakilan rakyat, ketentuan tentang
recall dihilangkan, walaupun beberapa saat kemudian recall dihidupkan kembali melalui amandemen
kedua UUD 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001.
Selain UUD 1945, dua konstitusi yang pernah
diberlakukan, yakni Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) maupun
Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950, tidak ditemukan ketentuan yang
mengatur tentang recall. UUDS Tahun
1950 hanya mengatur tentang hak setiap anggota DPR untuk meletakkan jabatannya
dan terlebih dahulu diberitahukan kepada Ketua DPR. Demikian pula Konstitusi RIS Tahun 1949 tidak
mengatur tentang recall dan hanya
menjamin hak bagi setiap anggota Senat untuk dapat meletakkan jabatannya dengan
terlebih dahulu memberitahukan lewat surat kepada Ketua Senat.
Pengaturan recall
dalam khasanah ketatanegaraan Republik Indonesia diawali sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Terdapat empat pasal dalam Undang-Undang tersebut yang berkaitan dengan recall, yakni: Pasal 4, Pasal 5, Pasal
13, dan Pasal 43. Ketentuan Pasal 4 menegaskan sebab-sebab seorang anggota MPR
berhenti antarwaktu, sementara ketentuan Pasal 5 menegaskan bahwa pemberhentian
anggota MPR diresmikan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan Pasal 13 terdiri
atas empat ayat, menjadi landasan hukum untuk memberhentikan seorang anggota
DPR dari jabatannya. Adapun sebab-sebab seorang anggota
MPR berhenti antarwaktu, dan berlaku juga bagi anggota DPR maupun DPRD,
yaitu:
(a) meninggal dunia; (b) atas
permintaan sendiri secara tertulis kepada Pimpinan MPR; (c) bertempat tinggal di luar wilayah Negara
Republik Indonesia; (d) berhenti sebagai anggota DPR; (e) tidak memenuhi lagi
syarat-syarat tersebut dalam pasal 2 ayat (1) berdasarkan keterangan yang berwajib;
(f) dinyatakan melanggar sumpah/janji sebagai anggota MPR dengan keputusan MPR;
(g) diganti menurut pasal 43; dan (h) terkena larangan perangkapan jabatan
menurut Bab V.
Hak melakukan recall
menurut Undang-Undang tersebut ada pada organisasi peserta pemilihan umum.
Ketentuan dimaksud ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan
bahwa:
"Hak mengganti utusan/wakil organisasi peserta pemilu dalam badan
permusyawaratan/perwakilan rakyat ada pada organisasi peserta pemilu yang
bersangkutan dan dalam hal pelaksanaan tersebut terlebih dahulu bermusyawarah
dengan pimpinan badan permusyawaratan/perwakilan rakyat yang
bersangkutan." Walaupun dalam pelaksanaan pergantian anggota MPR/DPR
terlebih dahulu harus dimusyawarahkan antara organisasi peserta pemilihan umum
dengan pimpinan MPR/DPR/DPRD, namun dengan ketentuan seperti tersebut,
organisasi peserta pemilihan umum memiliki kewenangan penuh untuk
memberhentikan anggota MPR/DPR serta menggantikannya dengan calon lainnya dari
organisasi peserta pemilihan umum yang bersangkutan.
Pengaturan tentang recall
hanya tercantum dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Undang-Undang yang mengatur tentang Organisasi Peserta Pemilihan Umum,
yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan
Karya, maupun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya,
sama sekali tidak ditemukan pengaturan tentang recall.
Runtuhnya Orde Baru turut mempengaruhi pengaturan recall dalam sistem ketatanegaraan
Republik Indonesia. Pelaksanaan recall
yang dipandang sewenang-wenang pada era Orde Baru mendorong para Pembentuk
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, untuk
menghapus recall dan tidak memberikan
ruang kepada partai politik untuk menarik anggotanya dari lembaga legislatif.
Semangat menghilangkan kewenangan partai politik untuk melakukan recall diarahkan dalam rangka penguatan
lembaga perwakilan sebagai pengemban amanat rakyat. Namun suasana tanpa “hantu”
recall ini hanya berlangsung selama
lebih-kurang dua tahun. Melalui amandemen kedua UUD 1945 yang berlangsung pada
tahun 2001, recall dihidupkan
kembali. Pengaturan tentang recall dalam UUD 1945, ditegaskan dalam
Pasal 22B yang berbunyi: "Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat
diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang."
Amanat ketentuan Pasal 22B UUD 1945 tersebut mengharuskan
pihak Pembentuk Undang-Undang untuk menjabarkan lebih lanjut dalam
Undang-Undang. Pengaturan recall
tidak saja dicantumkan dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR, dan DPRD saja sebagaimana pada era Orde Baru, tetapi juga termuat dengan
tegas di dalam Undang-Undang tentang Partai Politik.
Terdapat beberapa Undang-Undang di Era Reformasi yang
mengatur tentang Recall.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD
merupakan produk Undang-Undang pertama di Era Reformasi yang mengatur tentang recall. Kemudian terbentuknya
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik hingga Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD, semakin memperkukuh eksistensi Recall
dalam khasanah ketatanegaraan Republik Indonesia dewasa ini.
Sesuai pengaturan recall di dalam Undang-undang dimaksud, partai politik
memiliki kewenangan untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD dan menggantikannya
dengan calon lain dari partai politik yang bersangkutan.***
Senin, 03 Oktober 2011
Recall: Kedaulatan Parpol vs Kedaulatan Rakyat
Recall: Kedaulatan Parpol vs Kedaulatan Rakyat| Rudy Tonubessi
Oleh: Drs. Rudy Tonubessi, S.H., M.Si.
Pemilihan umum (pemilu) dan partai politik (parpol) merupakan dua unsur penting dalam negara demokrasi. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, sementara parpol merupakan sarana perjuangan politik rakyat. Melalui pemilu, para calon wakil rakyat yang diusung oleh parpol dipilih secara langsung oleh rakyat. Parpol-parpol yang “mendulang” suara secara proporsional akan memperoleh kursi di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD). Orang-orang yang menempati kursi tersebut adalah Calon Wakil Rakyat yang memperoleh suara terbanyak secara berturut-turut, sesuai “jatah” perolehan kursi dari Parpol yang bersangkutan. Pertanyaannya: jika rakyat yang memilih untuk menjadi wakil rakyat, mengapa recall mutlak menjadi kewenangan parpol tanpa melibatkan rakyat?
Recall di Indonesia
R e c a l l:
Kedaulatan Parpol vs Kedaulatan Rakyat
Oleh: Drs. Rudy Tonubessi, S.H., M.Si.
Pemilihan umum (pemilu) dan partai politik (parpol) merupakan dua unsur penting dalam negara demokrasi. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, sementara parpol merupakan sarana perjuangan politik rakyat. Melalui pemilu, para calon wakil rakyat yang diusung oleh parpol dipilih secara langsung oleh rakyat. Parpol-parpol yang “mendulang” suara secara proporsional akan memperoleh kursi di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD). Orang-orang yang menempati kursi tersebut adalah Calon Wakil Rakyat yang memperoleh suara terbanyak secara berturut-turut, sesuai “jatah” perolehan kursi dari Parpol yang bersangkutan. Pertanyaannya: jika rakyat yang memilih untuk menjadi wakil rakyat, mengapa recall mutlak menjadi kewenangan parpol tanpa melibatkan rakyat?
Pemilu dalam Negara Demokrasi
Salah satu syarat terselenggaranya pemerintahan demokratis adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Jimly Asshiddiqie menulis empat tujuan pemilu, yaitu: (i) untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; (ii) untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan; (iii) untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat; dan (iv) untuk melaksanakan prinsip-prinsip hak asasi warga negara.
Melalui pemilu, rakyat memperoleh kebebebasan menggunakan hak memilih dan hak dipilih untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam konteks pemilu untuk memilih anggota DPR/DPRD, hak memilih warga negara digunakan untuk memilih orang-orang yang dicalonkan oleh parpol untuk duduk dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD) guna mewakili rakyat untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hak dipilih digunakan oleh sebagian warga negara yang ikut terlibat dalam kompetisi menjadi wakil rakyat.
Mewakili rakyat berarti bahwa anggota DPR/DPRD dalam menjalankan peran dan fungsinya di lembaga perwakilan rakyat, harus benar-benar bertindak untuk dan atas nama rakyat, memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara umum, dan bukan bertindak hanya untuk kelompok-kelompok tertentu. Dalam menjalankan wewenang, tugas, fungsi, hak dan kewajiban sebagai wakil rakyat, Anggota DPR/DPRD harus senantiasa bertindak sesuai dengan kehendak rakyat. Hal tersebut mutlak dilakukan oleh karena kekuasaan yang mereka peroleh bersumber dari rakyat yang empunya kedaulatan dalam negara demokrasi.
Rekrutmen Wakil Rakyat
Tampilnya para Wakil Rakyat (Anggota DPR/DPRD) di lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD) melalui dua tahap rekrutmen, yaitu: (i) pada tingkat partai politik, dan (ii) dipilih oleh rakyat (pemilih) dalam pemilihan umum. Setiap warga negara yang dipandang memenuhi syarat untuk dipilih harus melalui proses rekrutmen di tingkat parpol peserta pemilu sebagai bentuk implementasi dari ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DRPD adalah partai politik. Prakteknya, Warga Negara yang dipandang memenuhi syarat menjadi calon Anggota DPR/DPRD direkrut oleh Parpol yang memenuhi syarat mengikuti Pemilu. Selanjutnya para calon Anggota DPR/DPRD tersebut akan dipilih oleh rakyat pemilih melalui pemilu, dan calon yang terpilih akan berperan mewakili kepentingan rakyat di lembaga DPR/DPRD. Proses rekrutmen seperti ini menegaskan bahwa eksistensi Wakil Rakyat tidak saja memiliki “hubungan emosional” dengan parpol, tetapi juga dengan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Konsekuensinya, kontrol terhadap kinerja para Anggota DPR/DPRD pun hendaknya tidak dapat terlepas dari dua pihak (rakyat dan parpol) yang telah “berjasa” menghantarkan para calon Anggota DPR/DPRD menjadi Wakil Rakyat.
Praktek empirik, saat rekrutmen calon Anggota DPR/DPRD oleh Parpol untuk dipilih oleh rakyat melalui Pemilu, tercipta hubungan hukum yang kuat antara keduanya. Saat terpilih oleh rakyat menjadi Anggota DPR/DPRD, hubungan hukum antara rakyat dan Anggota DPR/DPRD menjadi “ngambang”. Gambaran ini nampak dalam proses Recall, di mana parpol memiliki kewenangan mutlak tanpa melibatkan rakyat yang secara politis telah memberikan mandat melalui pemilu kepada calon terpilih untuk bertindak mewakili rakyat di lembaga DPR/DPRD.
Recall di Indonesia
Secara normatif recall dalam peraturan per-UU-an di Indonesia dikenal dengan istilah Pemberhentian Antar Waktu (PAW). Pasal 22B UUD 1945 menyatakan: “Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang”. Pengaturan lebih lanjut tentang PAW ditegaskan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 213 ayat (1), Pasal 332 ayat (1), dan Pasal 383 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Terdapat tiga sebab, seorang anggota DPR/DPRD berhenti antarwaktu, yaitu: (i) meninggal dunia; (ii) mengundurkan diri; atau (iii) diberhentikan.
Berhenti antarwaktu karena meninggal dunia tidak dapat dielakkan, sementara berhenti antarwaktu karena mengundurkan diri merupakan motif subjektif anggota DPR/DPRD. Sedangkan berhenti antarwaktu karena diberhentikan, diatur secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 213 ayat (2), Pasal 332 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009. Ketentuan dalam pasal-pasal tersebut memuat alasan-alasan yang dapat menyebabkan seseorang anggota DPR/DPRD diberhentikan dari jabatannya sebagai angota DPR/DPRD, salah satunya adalah: “diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Beberapa kasus recall terhadap anggota DPR maupun anggota DPRD yang terjadi di Indonesia karena alasan diusulkan oleh parpol. Tidak jarang pula penggunaan alasan tersebut hanya karena wakil rakyat tersebut dipandang tidak melaksanakan kebijakan partai atau pun terlalu kritis terhadap kekuasaan pemerintah, apalagi jika orang yang memerintah itu berasal dari partai yang sama. Tidak heran jika istilah recall dalam khasanah perpolitikan di Indonesia didefinisikan sebagai “penarikan kembali anggota DPR/DPRD oleh induk partainya, karena dinilai melakukan penyimpangan, menentang kebijakan partai, konflik dengan pengurus partai atau terlalu kritis pada pemerintah yang tidak sesuai dengan kebijakan partai.”
Kewenangan Recall Anggota DPR/DPRD
Terdapat dua institusi yang memperoleh kewenangan mengusulkan pemberhentian Anggota DPR/DPRD, yaitu: (i) Partai politik, dan (ii) Badan Kehormatan DPR/DPRD. Kewenangan parpol untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD dituangkan secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 214, Pasal 333, dan Pasal 384 UU No. 27 Tahun 2009. Sedangkan kewenangan Badan Kehormatan DPR/DPRD untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD ditegaskan dalam ketentuan Pasal 215, Pasal 334, dan pasal 385 UU No. 27 Tahun 2009. Kedua institusi ini ibarat lembaga super-body yang memiliki kewenangan amat besar untuk mengusulkan pemberhentian Anggota DPR/DPRD, bahkan dapat dikatakan bahwa kedua institusi tersebut telah “merampas” kedaulatan rakyat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 yang menegaskan bahwa penentuan calon Anggota DPR/DPRD terpilih berdasarkan suara terbanyak merupakan suatu sikap konstitusional yang hendak menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesuai amanat ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Dalam prakteknya, rakyat – Sang Pemilik Kedaulatan – di Negara ini yang telah menyatakan kedaulatannya untuk memilih para wakil rakyat, tidak memiliki kewenangan untuk mempertahankan orang yang telah dipilih menjadi wakil rakyat dari tindakan parpol dalam melakukan recall terhadap anggota DPR/DPRD. Teringat sepenggal kalimat yang diungkapkan oleh C. F. Strong: “jika rakyat diberi kekuasaan untuk memilih seorang wakil rakyat, mengapa mereka tidak pula diberi hak untuk memberhentikan wakil rakyat itu jika menurut rakyat gagal dalam menjalankan tugasnya? Bukankah suatu hak tersebut merupakan dampak dari hak lainnya?”
Untuk kita renungkan: Apakah anggota DPR/DPRD di Negara ini adalah wakil rakyat atau wakil partai politik?. Jawabannya tergantung pada kemauan politik Pembentuk Undang-Undang di Negara ini.***
KTP Warga dan Kedaulatan Rakyat
KTP Warga dan Kedaulatan Rakyat | Rudy Tonubessi
Syarat Terbentuknya Negara
Kekuasaan negara yang tertinggi ada pada rakyat sehingga dapat diartikan bahwa kedaulatan itu ada pada tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal tersebut disebabkan karena negara merupakan kesatuan dari orang-orang yang bebas dan merdeka, sehingga tidak mungkin seseorang itu menguasai orang lainnya secara mutlak. Kekuasaan rakyat dan kekuasaan raja adalah seimbang. Karena rakyat yang berdaulat dan raja yang melaksanakan kedaulatan rakyatnya.
KTP Warga dan Kedaulatan Rakyat
(Percikan Pemikiran Tentang Kebijakan Retribusi KTP)
oleh: Rudy Tonubessi
Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan bukti identitas diri bagi setiap warga negara. Setiap orang yang telah berusia 17 tahun atau telah kawin yang menghuni suatu wilayah pemerintahan pada tingkat kabupetan/kota harus memiliki KTP sebagai bukti diri yang bersangkutan tinggal dalam wilayah pemerintahan tersebut. Kepemilikan KTP tidak sekedar bukti terdaftar sebagai penduduk yang menghuni wilayah tertentu, namun dalam berbagai urusan, KTP selalu dijadikan salah satu syarat penting untuk memperoleh pelayanan. Pengurusan berbagai perijinan, permohonan kredit, pembelian ticket, lamaran pekerjaan, menjadi calon anggota legislatif atau calon kepala daerah, diwajibkan untuk melampirkan copy KTP atau menunjukkan KTP. Kepemilikan KTP juga dapat mempengaruhi penggunaan hak-hak rakyat sebagai warga negara yang berdaulat dalam suatu negara. Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terjadi dalam pemilihan Walikota Kupang tahun 2007, dan juga pada pemilihan Presiden tahun 2009 merupakan contoh nyata bahwa KTP dijadikan syarat yang memungkinkan rakyat (warga negara) dapat menggunakan hak pilihnya, walaupun ia tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT.
Dalam praktek pelayanan pemerintah terhadap hak rakyat (warga negara) berkaitan dengan identitas sebagai warga negara, dikenai retribusi. Pengenaan retribusi ini merupakan tindakan atas interpretasi pihak pemerintah dalam melaksanakan salah satu urusan dalam bidang Kependudukan dan Catatan Sipil yang diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) butir j Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, di mana penerbitan KTP merupakan salah satu bentuk pelayanan terhadap masyarakat sehingga atas pelayanan tersebut, setiap orang yang hendak memiliki KTP diharuskan untuk membayar biaya penerbitan KTP. Sementara, KTP merupakan bukti identitas diri setiap warga negara (rakyat) yang menghuni wilayah negara, sehingga pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas negara dapat mengetahui dengan pasti kepada rakyat yang mana pelayanan hak-hak rakyat itu diarahkan. Pertanyaannya adalah apakah penerbitan KTP itu sebuah bentuk pelayanan negara (baca: pemerintah) kepada warga negara (rakyat) sang pemilik kedaulatan yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) harus dibebankan biaya retribusi?
Syarat Terbentuknya Negara
Dalam berbagai literatur, banyak dijumpai unsur-unsur yang harus dipenuhi bagi terbentuknya suatu negara. Miriam Budiardjo (2008) menulis 4 (empat) unsur, yakni wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan. Unsur-unsur tersebut merupakan syarat kumulatif yang memungkinkan ada pengakuan eksistensi suatu negara. Wilayah negara menunjukkan batas di mana kekuasaan negara itu dapat dijangkau. Penduduk merupakan setiap orang yang menghuni secara tetap dan berturut-turut dalam wilayah yang dikuasai negara, di mana kekuasaan negara harus menjangkau pada semua penduduk (warga negara). Pemerintah merupakan organisasi yang memiliki kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan berbagai keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk (rakyat) dalam wilayah yang menjadi kekuasaan negara. Sedangkan kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi untuk membentuk dan melaksanakan undang-undang dengan berbagai cara termasuk dengan paksaan.
Apa itu negara?. Salah seorang ahli, Robert M. MacIver mendefinisikan negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. Definisi tentang negara tersebut telah pula mengakomodir unsur-unsur yang harus ada dalam suatu organisasi yang bernama negara. atas dasar pemahaman tersebut, dari perspektif hukum telah tercipta hubungan hukum antara rakyat dan negara yang melahirkan sejumlah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam wilayah kedaulatan negara tersebut.
Teori Kedaulatan Rakyat
Munculnya teori kedaulatan rakyat merupakan reaksi terhadap teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Ide tentang kekuasaan ada di tangan rakyat (konsep kedaulatan rakyat), mulanya dikemukakan oleh Epicurus melalui ajaran individualisme yang menempatkan individu sebagai bagian terpenting dari negara, bahkan adanya negara merupakan upaya pemenuhan hasrat dan kepentingan individu-individu. Ajaran tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Marsilius yang menjelaskan proses terciptanya pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat diawali oleh adanya penyerahan tugas (Pactum Subjectiones) melalui suatu konsesi (Concession). Menurut Marsilius:
Kekuasaan negara yang tertinggi ada pada rakyat sehingga dapat diartikan bahwa kedaulatan itu ada pada tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal tersebut disebabkan karena negara merupakan kesatuan dari orang-orang yang bebas dan merdeka, sehingga tidak mungkin seseorang itu menguasai orang lainnya secara mutlak. Kekuasaan rakyat dan kekuasaan raja adalah seimbang. Karena rakyat yang berdaulat dan raja yang melaksanakan kedaulatan rakyatnya.
Dari pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan penyerahan tugas (pactum subyektiones) melalui konsesi (concessio), raja (pemerintah) hanya berhak untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, Jean Jacques Rousseau memrakarsai teori Kedaulatan Rakyat melalui teorinya yang terkenal, yakni “Kontrak Sosial” (Teori Perjanjian Masyarakat/du contract social). Menurut Rousseau negara terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. Ia menegaskan bahwa kedaulatan itu lahir akibat adanya pernyataan kehendak rakyat, melalui: (i) perjanjian bersama antar anggota-anggota masyarakat untuk saling menjaga hak-haknya yang disebut volunte generale; dan (ii) perjanjian antara anggota masyarakat dengan sekelompok orang untuk menjaga supaya perjanjian dilaksanakan oleh para anggota masyarakat yang disebut volunte de tous. Di samping itu, Ia juga mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat (du contract social), maka orang menyerahkan kebebasan hak-hak serta wewenangnya pada rakyat seluruhnya, yakni natural liberty dalam suasana bernegara kembali sebagai civil liberty. Sementara menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa rakyatlah yang akan menentukan berbagai kebijakan serta cara bagaimana seharusnya pemerintahan itu diselenggarakan. Rakyat juga yang akan menentukan ke arah mana tujuan yang hendak dicapai oleh negara serta pemerintahannya.
Kebijakan Retribusi KTP dan Kedaulatan Rakyat
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini menegaskan bahwa negara Indonesia menempatkan rakyat sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, walaupun dalam implementasinya dilakukan melalui perwakilan yakni orang-orang yang terpilih melalui pemilihan umum, memperoleh mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan negara. Praktek ini merupakan suatu keniscayaan dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Walaupun rakyat ditempatkan pada posisi sebagai pemegang kedaulatan, namun dalam pelaksanaannya pun tetap harus tunduk pada hukum yang berlaku. Hal tersebut pula digariskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yakni: “negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensinya adalah bahwa di samping supremasi kedaulatan rakyat, negara Indonesia juga menjunjung tinggi supremasi hukum.
Eksistensi rakyat (penduduk) yang mendiami wilayah negara harus teridentifikasi oleh pihak penyelenggara pemerintah. Hal tersebut sangat diperlukan untuk memperoleh kepastian siapa-siapa saja yang memiliki hak untuk berdaulat di negara Indonesia. Berdirinya negara Indonesia tidak terlepas dari suatu perjanjian sosial antara rakyat (warga negara) di satu sisi dengan negara di sisi lainnya. Tindakan-tindakan negara dilaksanakan oleh organ-organ negara yang biasa dikenal sebagai pemerintah. Konsekuensi logis dari perjanjian sosial tersebut, lahir hubungan hukum antara negara yang menerima mandat dari rakyat dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Negara diwakili oleh pemerintah untuk menjalankan fungsi negara di samping memaksakan kewajiban-kewajibannya kepada rakyat (warga negara), juga melayani hak-hak rakyat (warga negara) terutama dalam rangka mencapai tujuan negara. Karenanya, siapa saja rakyat (warga negara) yang harus dibebani kewajiban serta dilayani hak-haknya, diperlukan identitas yang pasti sehingga kontrak sosial antara rakyat dengan negara tersebut dapat terlaksana sesuai mandat yang diberikan rakyat kepada negara. Salah satu identitas itu adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kartu Tanda Penduduk hanya boleh dipegang oleh rakyat (warga negara) yang telah memiliki usia minimal 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin. Golongan rakyat ini dari perspektif hukum dipandang telah cakap hukum, artinya rakyat yang terkategorikan tersebut dipandang telah memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum serta dapat mempertangungjawabkan tindakannya secara hukum pula. Dalam konteks kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, kelompok masyarakat yang berada pada kategori ini telah memperoleh jaminan untuk menggunakan semua hak-haknya sebagai warga negara, dan dipandang mampu melaksanakan kewajiban sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Dari perspektif hubungan antara rakyat dan negara, dengan mengacu pada teori kedaulatan rakyat maupun teori kontrak sosial, identitas warga negara berupa KTP merupakan hak bagi setiap warga negara yang memang memiliki kedaulatan atas negara ini. Sementara, negara yang diwakili oleh pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan identitas kepada setiap orang yang telah memenuhi syarat sebagai warga negara, sehingga menjadi jelas pihak rakyat yang memang memiliki hak untuk berdaulat dalam suatu wilayah negara.
Dalam praktek pemerintahan, warga negara yang dipandang telah memiliki hak untuk memperoleh KTP, dikenai retribusi. Pengenaan retribusi itu sebagai imbalan atas pelayanan jasa pemerintah untuk menerbitkan KTP. Tidak jarang ditemui juga bahwa ada pihak pemerintah yang mengampanyekan penerbitan KTP gratis sebagai bentuk propaganda program untuk menarik simpati rakyat dalam suatu ajang politik. Jika dicermati secara seksama, hal yang harus dipahami oleh para penyelenggara pemerintahan adalah penerbitan KTP bagi warga negara merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk memenuhi hak warga negara guna memiliki identitas sebagai warga negara dalam suatu wilayah hukum pemerintahan negara, sehingga warga negara tersebut memiliki hubungan hukum dengan negara di mana ia menetap agar hak-haknya sebagai warga negara dapat terlayani serta bertanggung jawab penuh untuk menjalankan kewajibannya terhadap negara.
Secara filosofis, setiap orang yang akan mengakses hak tidak harus mengeluarkan biaya. Oleh karena dalam hubungan hukum antara rakyat dan negara, KTP merupakan hak warga negara, pelayanan untuk menerbitkan KTP merupakan kewajiban negara memberikan identitas kepada warga negara yang memiliki kedaulatan atas negara ini, penerbitan KTP oleh pemerintah yang menjalankan fungsi-fungsi negara haruslah dibebaskan dari berbagai bentuk biaya yang dibebankan kepada warga negara (rakyat) sang pemilik kedaulatan di Negara Indonesia sesuai amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. (***)
Memotret Kinerja DPRD
Memotret Kinerja DPRD | Rudy Tonubessi
MEMOTRET KINERJA DPRD
Oleh: Rudy Tonubessi
Oleh: Rudy Tonubessi
Pendulum kekuasaan, executive heavy di era Orde Baru yang bergeser ke arah legislative heavy di Era Reformasi, menempatkan fungsi lembaga legislatif (DPRD) menjadi sangat strategis. Ketika daerah deberi tanggungjawab mengurus rumah-tangganya sendiri sebagaimana hakikat otonomi daerah, DPRD memperoleh wewenang memproduksi sekaligus mengendalikan berbagai kebijakan di daerah. Pemberian kewenangan tersebut berangkat dari suatu asumsi bahwa keberadaan para anggota DPRD telah memiliki kemampuan sumberdaya yang dipandang telah memahami dan mampu menjalankan fungsi, tugas serta komitmennya sebagai pengemban amanat rakyat di tengah-tengah tuntutan kehidupan masyarakat yang relatif cepat berubah.
Tidak jarang ditemui bahwa lembaga DPRD sering dijadikan arena pertarungan bagi para politisi dalam mengejar dan meraih berbagai kepentingan para politisi. Bagaimana tidak? Dengan posisi yang memiliki peran sebagai penentu akhir dari produk suatu kebijakan di daerah, para anggota DPRD memanfaatkan peluang tersebut untuk melakukan “tawar-menawar” yang berorientasi pada kepentingan politik bahkan materi yang berimplikasi semakin meluasnya lokus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Konspirasi. Tindakan “kong-kalikong” antara para anggota DPRD dan pihak eksekutif untuk memperoleh pekerjaan proyek daerah, merekrut tanaga honorer daerah tanpa melalui proses yang transparan, melakukan perjalanan dinas dengan biaya yang amat besar tanpa memperhitungkan kemampuan keuangan daerah, meminta berbagai fasilitas dengan mengabaikan kepentingan umum dan mengutamakan kepentingan kelompok politik para anggota DPRD, serta bertindak seolah-olah mewakili rakyat untuk menutupi perilaku oligarkis, merupakan potret yang tidak jarang dipertontonkan kepada rakyat.
Kejadian di beberapa daerah di mana DPRD justru menempatkan diri sebagai lawan eksekutif, kurang etis, dan cenderung picky atau ikut campur dalam urusan administrasi pemerintahan daerah. Bambang Yudoyono (2001) dalam bukunya “Otonomi Daerah” menulis sejumlah perilaku beberapa anggota DPRD, diantaranya: (i) Keluar masuk ruangan kerja para pejabat Pemerintah Daerah (struktural dan fungsional/Pimpro) untuk memeriksa kuitansi, membuka brankas dan menghitung uang yang ada di dalamnya, menunggui pengerjaan jalan (pengaspalan) dengan mengukur ketebalan aspal, serta menanyai Pimpro seperti layaknya seorang inspektur atau pemeriksa; (ii) Meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan setara eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah atau kapling tanah, dan sebagainya, tanpa menghiraukan kemampuan PAD-nya; (iii) Meminta anggaran untuk DPRD dalam jumlah besar tanpa perhitungan yang rasional dan proporsional. Di beberapa daerah ditemui anggaran DPRD yang berjumlah sekitar 60% ke atas dari Pendapatan Asli Daerah. Bahkan ada kabupaten yang anggaran untuk DPRD mencapai 100% sampai 135% dari PAD. Hal ini dinilai jelas tidak etis dan tidak rasional. Karena DPRD dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat, jika menggunakan 100% PAD untuk keperluan kegiatannya, berarti tidak menyisakan penggunaan anggaran untuk kepentingan pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat sebagai tugas umum yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; (iv) Dalam menggunakan anggaran, di beberapa daerah dijumpai tidak bersedia diperiksa oleh pejabat dari Inspektorat Daerah. Padahal setiap sumber dana yang berasal dari APBD harus diperiksa oleh perangkat pemeriksa daerah.
Pelaksanaan Fungsi-fungsi DPRD
David Apter (1985) dalam bukunya “Pengantar Analisa Politik” menulis bahwa fungsi pertama Badan Legislatif dalam semua sistem demokrasi adalah mewakili rakyat, dan fungsi keduanya adalah membuat undang-undang atas nama mereka (penulis: rakyat). Dalam konteks Indonesia, fungsi lembaga legislatif di daerah (DPRD) secara eksplisit dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, yakni: fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi kontrol. Dua fungsi yang pertama (legislasi dan anggaran) menempatkan hubungan kekuasaan secara horisontal antara DPRD dan Kepala Daerah, sedangkan fungsi kontrol menempatkan hubungan kekuasaan yang vertikal di mana DPRD diberi wewenang untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas eksekutif -- dan tidak sebaliknya -- dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di daerah.
Fungsi legislasi merupakan kewenangan membentuk Peraturan Daerah (PERDA). Implementasi fungsi ini baik DPRD maupun Kepala Daerah diberi hak untuk mengajukan rancangan PERDA guna dibahas dan mendapatkan persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah. Dalam prakteknya, sangat jarang ditemui – untuk tidak mengatakan tidak pernah – DPRD menggunakan hak inisitifnya mengajukan usul Rancangan PERDA sebagai bentuk tanggungjawabnya mewakili rakyat menata kehidupan bersama dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Fungsi anggaran merupakan kewenangan DPRD untuk menetapkan APBD bersama kepala daerah. Pelaksanaan fungsi ini dalam bentuk pembahasan Rancangan APBD bersama Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama sehingga melahirkan produk dalam bentuk APBD. Fungsi ini merupakan bagian dari kebijakan publik yang di desain dalam bentuk program-program pembangunan dengan pembiayaan APBD yang diarahkan dalam rangka menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat di daerah. Rancangan APBD ini selalu berasal dari pihak Pemerintah (eksekutif) dan belum pernah ditemui usulan yang berasal dari DPRD.
Fungsi kontrol adalah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan-perundang-undangan serta kebijakan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah. Secara empirik fungsi ini dijalankan pada aras pragmatis dan masih jauh dari substansi pengawasan itu sendiri. Pengawasan (kontrol) pihak DPRD terhadap kebijakan pemerintah hanya mencapai tingkat out-put suatu program dan hampir sulit bagi para anggota DPRD untuk dapat melakukan analisis kinerja dari suatu program hingga pada taraf out-come bahkan benefit maupun impact.
Identifikasi Penyebab
Gambaran perilaku anggota DPRD di seantero tanah air, dapat memberikan gambaran masih teramat jauh harapan rakyat terhadap kinerja para wakil rakyat. tidak dipungkiri juga, ada sejumlah anggota DPRD yang dipandang mampu memainkan perannya sebagai wakil rakyat, namun secara empirik jumlahnya relatif lebih sedikit. Permasalahan mendasar yang menyebabkan tampilnya wakil rakyat seperti digambarkan di atas adalah rekrutmen politik partai yang asal-asalan.
Abdul Bari Azed (2000) mengutip pendapat Moshe Czudnoskwi yang mengatakan bahwa menjadi wakil rakyat sebagai manifestasi perwakilan politik paling tidak dibutuhkan orang-orang yang populer sekaligus berkualitas serta memiliki ikatan emosional dengan pihak yang diwakili. Popularitas seorang calon wakil rakyat memungkinkan ia terpilih dalam pemilihan umum, sedangkan kualitas (baca: kapasitas intelektual) memungkinkan seorang wakil rakyat mampu menganalisis berbagai persoalan yang dialami masyarakat untuk kemudian dicarikan solusinya dalam bentuk kebijakan publik yang diarahkan guna menjawab tuntutan dan permasalahan tersebut. Ikatan emosional dengan pihak yang diwakili mengharuskan seorang wakil rakyat memahami akan eksistensinya sebagai wakil rakyat yang harus bertindak atas kehendak rakyat yang ia wakili.
Secara ideal, ketiga syarat tersebut harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak mencalonkan dirinya menjadi anggota DPRD. Popularitas seorang calon anggota DPRD tanpa kapasitas intelektual, hanya memungkinkan ia terpilih menjadi anggota DPRD, namun akan gagap menghadapi tugas-tugas dalam menjalankan fungsi DPRD. sebaliknya, jika seseorang hanya memiliki kapasitas intelektual tanpa memiliki populatitas, akan sulit terpilih manjadi anggota DPRD. Dengan memenuhi kedua syarat tersebut, setiap anggota DPRD harus pula memiliki hubungan emosional yang kuat dengan masyarakat pemilih yang memungkinkan ia dapat memiliki kepercayaan dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD adalah kapasitas pribadi anggota DPRD. Kapasitas pribadi ini berkaitan dengan sejumlah pengalaman yang diperoleh secara sengaja maupun tidak sengaja dalam kehidupan yang turut mempengaruhi kualitas diri seseorang sebelum yang bersangkutan menjadi anggota DPRD. Pengalaman tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal, serta berbagai aktifitas sebelum menjadi anggota DPRD. Secara empirik, tingkat pendidikan para anggota DPRD amat beragam. Jika dikaitkan dengan tugas yang harus dijalankan oleh setiap anggota DPRD berkaitan dengan fungsi-fungsi DPRD, bukan hal yang mustahil dibutuhkan kualitas individu yang benar-benar memahami dan mampu menjalankan perannya sebagai wakil rakyat dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi lembaga DPRD.
Tingkat pendidikan seseorang turut menentukan kapasitas dan kualitas seseorang dalam mengemban suatu tugas yang dipercayakan kepadanya. Sebagai wakil rakyat yang memiliki kewenangan dalam bidang legislasi, yakni membentuk Peraturan Daerah dibutuhkan kemampuan serta ketrampilan legal drafting. Begitu pula dalam perannya menjalankan fungsi anggaran, setiap wakil rakyat dituntut memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan, menganalisis, menentukan alternatif pemecahan masalah, dan memilih salah satu alternatif untuk dituangkan dalam bentuk program (kebijakan publik) yang akan dibiayai APBD dalam rangka menjawab tuntutan kehidupan rakyat di daerah. Kemampuan legal drafting dan kapasitas merumuskan kebijakan publik hanya diperoleh pada jenjang pendidikan minimal strata-1. Tidak semua jenjang pendidikan Strata-1 memperoleh pengetahuan dalam bidang legal drafting maupun perumusan kebijakan publik, apalagi dengan jenjang pendidikan setingkat SMA. Dengan komposisi jenis dan jenjang pendidikan para wakil rakyat di lembaga DPRD yang amat beragam, jelas akan mempengaruhi kemampuan wakil rakyat tersebut dalam mengemban peran secara efektif sesuai dengan fungsi-fungsi lembaga yang teremban padanya. Pengalaman empirik, dengan berbagai kegiatan work-shop atau diklat yang diikuti berulang-ulang oleh para anggota DPRD, tidak cukup mampu mendongkrak kapasitas para anggota DPRD untuk menjalankan fungsi-fungsi lembaga DPRD secara efektif.
Dengan pengalaman yang relatif terbatas bagi anggota DPRD relatif menyulitkan pula dalam membangun komunikasi dengan pihak eksekutif yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman dalam bidang tugas mereka. Tidak mungkin dipungkiri bahwa pihak eksekutif relatif lebih menguasai bidang tugas pemerintahan jika dibandingkan dengan anggota DPRD. Hal demikian wajar oleh karena pihak eksekutif merupakan orang-orang yang secara tetap bekerja di lingkungan pemerintahan, sedangkan anggota DPRD secara periodik 5 (lima) tahun sekali mengalami pergantian. Praktis anggota DPRD tidak cukup menguasai secara detail berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, apalagi berbagai data dan informasi berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berada pada pihak eksekutif.
Faktor lainnya yang juga mempengaruhi kinerja DPRD adalah motivasi menjadi anggota DPRD. Motivasi berkaitan dengan kemauan yang tulus dari wakil rakyat untuk benar-benar mengabdi (mengutamakan) kepentingan rakyat. Disadari benar bahwa faktor ini sulit dideteksi, namun paling tidak, motivasi tersebut dapat dinampakkan lewat ekspresi sikap dan tindakan para wakil rakyat yang dapat memenuhi harapan rakyat. Jenis motivasi setiap anggota DPRD akan sangat menentukan kualitas kerja dan kinerjanya. Bagi yang memiliki motivasi sekedar memperoleh pendapatan (motif ekonomi), diyakini kinerjanya tidak maksimal karena lebih dominan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan ekonomis dari peran-peran politiknya di lembaga DPRD. Sebaliknya, anggota DPRD yang motivasinya terkait dengan peran-peran ideal dari anggota-anggota legislatif sudah tentu cenderung memberikan (menunjukkan) kinerja kerja yang lebih baik.
Peran partai politik dalam menjalankan fungsinya pun tidak luput dari tanggungjawabnya menyiapkan kader partai yang paripurna sehingga dapat menjalankan peran sebagai wakil rakyat. Fungsi partai melakukan pendidikan politik menjadi penting dalam mempersiapkan calon anggota DPRD. Proses rekrutmen tanpa mempertimbangkan kapasitas seseorang yang akan dicalonkan menjadi anggota DPRD pun turut memberikan kontribusi terhadap lemahnya kinerja para anggota DPRD. Nampak kecenderungan partai politik dalam melakukan rekrutmen calon anggota DPRD hanya untuk meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya, tanpa mempertimbangkan kualitas calon anggota DPRD. Rekrutmen yang asal-asalan inilah yang menghasilkan para wakil rakyat, baik pada aras nasional maupun pada aras regional dan lokal yang telah mempertontonkan kinerja yang dipandang buruk di mata masyarakat.
Bagaimana Solusinya?
Perbaikan rekrutmen politik menjadi faktor determinan dalam memperbaiki kinerja lembaga DPRD. Partai politik dituntut untuk dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik harus dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan kebutuhan sumberdaya manusia yang dipandang mampu menjalankan peran sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan fungsi-fungsi lembaga DPRD. Di samping itu, pelembagaan kontrol sosial terhadap kinerja para anggota DPRD perlu didukung dengan perangkat aturan yang memungkinkan bagi rakyat pemilih (konstituen) untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota DPRD. Lembaga recalling hendaknya diefektifkan dengan melibatkan rakyat pemilih guna menilai apakah seorang wakil rakyat harus di-recall atau tidak. Hal ini perlu agar tidak ada pertimbangan subjektif dari partai politik untuk me-recall anggota DPRD yang dipandang “vokal” membela hak rakyat dan dipandang tidak menguntungkan para elite partai dan elite pengauasa pemerintahan.
Kita tunggu, semoga akan hadir para anggota DPRD yang benar-benar mewakili rakyat, dan bukan mewakili diri sendiri atau kelompok politik tertentu.
Langganan:
Postingan (Atom)