Senin, 03 Oktober 2011

KTP Warga dan Kedaulatan Rakyat

KTP Warga dan Kedaulatan Rakyat | Rudy Tonubessi



KTP Warga dan Kedaulatan Rakyat
(Percikan Pemikiran Tentang Kebijakan Retribusi KTP)

 oleh: Rudy Tonubessi

Kartu Tanda Penduduk (KTP) merupakan bukti identitas diri bagi setiap warga negara. Setiap orang yang telah berusia 17 tahun atau telah kawin yang menghuni suatu wilayah pemerintahan pada tingkat kabupetan/kota harus memiliki KTP sebagai bukti diri yang bersangkutan tinggal dalam wilayah pemerintahan tersebut. Kepemilikan KTP tidak sekedar bukti terdaftar sebagai penduduk yang menghuni wilayah tertentu, namun dalam berbagai urusan, KTP selalu dijadikan salah satu syarat penting  untuk memperoleh pelayanan. Pengurusan berbagai perijinan, permohonan kredit, pembelian ticket, lamaran pekerjaan, menjadi calon anggota legislatif atau calon kepala daerah, diwajibkan untuk melampirkan copy KTP atau menunjukkan KTP. Kepemilikan KTP juga dapat mempengaruhi penggunaan hak-hak rakyat sebagai warga negara yang berdaulat dalam suatu negara. Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang terjadi dalam pemilihan Walikota Kupang tahun 2007, dan juga pada pemilihan Presiden tahun 2009 merupakan contoh nyata bahwa KTP dijadikan syarat yang memungkinkan rakyat (warga negara) dapat menggunakan hak pilihnya, walaupun ia tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT.
Dalam praktek pelayanan pemerintah terhadap hak rakyat (warga negara) berkaitan dengan identitas sebagai warga negara, dikenai retribusi. Pengenaan retribusi ini merupakan tindakan atas interpretasi pihak pemerintah dalam melaksanakan salah satu urusan dalam bidang Kependudukan dan Catatan Sipil yang diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah kabupaten/kota berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) butir j Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, di mana penerbitan KTP merupakan salah satu bentuk pelayanan terhadap masyarakat sehingga atas pelayanan tersebut, setiap orang yang hendak memiliki KTP diharuskan untuk membayar biaya penerbitan KTP. Sementara, KTP merupakan bukti identitas diri setiap warga negara (rakyat) yang menghuni wilayah negara, sehingga pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas negara dapat mengetahui dengan pasti kepada rakyat yang mana pelayanan hak-hak rakyat itu diarahkan.  Pertanyaannya adalah apakah penerbitan KTP itu sebuah bentuk pelayanan negara (baca: pemerintah) kepada warga negara (rakyat) sang pemilik kedaulatan yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) harus dibebankan biaya retribusi?

Syarat Terbentuknya Negara
Dalam berbagai literatur, banyak dijumpai unsur-unsur yang harus dipenuhi bagi terbentuknya suatu negara.  Miriam Budiardjo (2008) menulis 4 (empat) unsur, yakni wilayah, penduduk, pemerintah, dan kedaulatan.  Unsur-unsur tersebut  merupakan syarat kumulatif yang memungkinkan ada pengakuan eksistensi suatu negara. Wilayah negara menunjukkan batas di mana kekuasaan negara itu dapat dijangkau. Penduduk merupakan setiap orang yang menghuni secara tetap dan berturut-turut dalam wilayah yang dikuasai negara, di mana kekuasaan negara harus menjangkau pada semua penduduk (warga negara). Pemerintah merupakan organisasi yang memiliki kewenangan untuk merumuskan dan melaksanakan berbagai keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk (rakyat) dalam wilayah yang menjadi kekuasaan negara. Sedangkan kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi untuk membentuk dan melaksanakan undang-undang dengan berbagai cara termasuk dengan paksaan.
Apa itu negara?. Salah seorang ahli, Robert M. MacIver mendefinisikan negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa. Definisi tentang negara tersebut telah pula mengakomodir unsur-unsur yang harus ada dalam suatu organisasi yang bernama negara. atas dasar pemahaman tersebut, dari perspektif hukum telah tercipta hubungan hukum antara rakyat dan negara yang melahirkan sejumlah hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam wilayah kedaulatan negara tersebut.

Teori Kedaulatan Rakyat
Munculnya teori  kedaulatan rakyat merupakan reaksi terhadap teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat.  Ide tentang kekuasaan ada di tangan rakyat (konsep kedaulatan rakyat), mulanya dikemukakan oleh Epicurus melalui ajaran individualisme yang menempatkan individu sebagai bagian terpenting dari negara, bahkan adanya negara merupakan upaya pemenuhan hasrat dan kepentingan individu-individu. Ajaran tersebut kemudian dikembangkan lagi oleh Marsilius yang menjelaskan proses terciptanya pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat diawali oleh adanya penyerahan tugas (Pactum Subjectiones) melalui suatu konsesi (Concession). Menurut Marsilius:

Kekuasaan negara yang tertinggi ada pada rakyat sehingga dapat diartikan bahwa kedaulatan itu ada pada tangan rakyat. Rakyatlah yang berhak membuat peraturan-peraturan hukum atau undang-undang. Hal tersebut disebabkan karena negara merupakan kesatuan dari orang-orang yang bebas dan merdeka, sehingga tidak mungkin seseorang itu menguasai orang lainnya secara mutlak. Kekuasaan  rakyat dan kekuasaan raja adalah seimbang. Karena rakyat yang berdaulat dan raja yang melaksanakan kedaulatan rakyatnya.

Dari pendapat tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan penyerahan tugas (pactum subyektiones) melalui konsesi (concessio), raja (pemerintah) hanya berhak untuk melaksanakan apa yang disebut sebagai kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, Jean Jacques Rousseau  memrakarsai teori Kedaulatan Rakyat  melalui teorinya yang terkenal, yakni “Kontrak Sosial” (Teori Perjanjian Masyarakat/du contract social). Menurut Rousseau negara terbentuk karena adanya perjanjian masyarakat. Ia menegaskan bahwa kedaulatan itu lahir akibat adanya pernyataan kehendak rakyat, melalui: (i) perjanjian bersama antar anggota-anggota masyarakat untuk saling menjaga hak-haknya yang disebut volunte generale; dan (ii) perjanjian antara anggota masyarakat dengan sekelompok orang untuk menjaga supaya perjanjian dilaksanakan oleh para anggota masyarakat yang disebut volunte de tous. Di samping itu, Ia juga mengajarkan bahwa dengan perjanjian masyarakat (du contract social), maka orang menyerahkan kebebasan hak-hak serta wewenangnya pada rakyat seluruhnya, yakni natural liberty  dalam suasana bernegara kembali sebagai civil liberty. Sementara menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim mengemukakan bahwa dalam paham kedaulatan rakyat (democracy), rakyatlah yang dianggap sebagai pemilik dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa rakyatlah yang akan menentukan berbagai kebijakan serta cara bagaimana seharusnya pemerintahan itu diselenggarakan. Rakyat juga yang akan menentukan ke arah mana tujuan yang hendak dicapai oleh negara serta pemerintahannya.

Kebijakan Retribusi KTP dan Kedaulatan Rakyat
Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ketentuan ini menegaskan bahwa negara Indonesia menempatkan rakyat sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, walaupun dalam implementasinya dilakukan melalui perwakilan yakni orang-orang yang terpilih melalui pemilihan umum, memperoleh mandat dari rakyat untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan negara. Praktek ini merupakan suatu keniscayaan dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Walaupun rakyat ditempatkan pada posisi sebagai pemegang kedaulatan, namun dalam pelaksanaannya pun tetap harus tunduk pada hukum yang berlaku. Hal tersebut pula digariskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yakni: “negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensinya adalah bahwa di samping supremasi kedaulatan rakyat, negara Indonesia juga menjunjung tinggi supremasi hukum.
Eksistensi rakyat (penduduk) yang mendiami wilayah negara harus teridentifikasi oleh pihak penyelenggara pemerintah. Hal tersebut sangat diperlukan untuk memperoleh kepastian siapa-siapa saja yang memiliki hak untuk berdaulat di negara Indonesia. Berdirinya negara Indonesia tidak terlepas dari suatu perjanjian sosial antara rakyat (warga negara) di satu sisi dengan negara di sisi lainnya. Tindakan-tindakan negara dilaksanakan oleh organ-organ negara yang biasa dikenal sebagai pemerintah. Konsekuensi logis dari perjanjian sosial tersebut, lahir hubungan hukum antara negara yang menerima mandat dari rakyat dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Negara diwakili oleh pemerintah untuk menjalankan fungsi negara di samping memaksakan kewajiban-kewajibannya kepada rakyat (warga negara), juga melayani hak-hak rakyat (warga negara) terutama dalam rangka mencapai tujuan negara. Karenanya, siapa saja rakyat (warga negara) yang harus dibebani kewajiban serta dilayani hak-haknya, diperlukan identitas yang pasti sehingga kontrak sosial antara rakyat dengan negara tersebut dapat terlaksana sesuai mandat yang diberikan rakyat kepada negara. Salah satu identitas itu adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kartu Tanda Penduduk hanya boleh dipegang oleh rakyat (warga negara) yang telah memiliki usia minimal 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin. Golongan rakyat ini dari perspektif hukum dipandang telah cakap hukum, artinya rakyat yang terkategorikan tersebut dipandang telah memiliki kemampuan untuk melakukan tindakan hukum serta dapat mempertangungjawabkan tindakannya secara hukum pula. Dalam konteks kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, kelompok masyarakat yang berada pada kategori ini telah memperoleh jaminan untuk menggunakan semua hak-haknya sebagai warga negara, dan dipandang mampu melaksanakan kewajiban sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Dari perspektif hubungan antara rakyat dan negara, dengan mengacu pada teori kedaulatan rakyat maupun teori kontrak sosial, identitas warga negara berupa KTP merupakan hak bagi setiap warga negara yang memang memiliki kedaulatan atas negara ini. Sementara, negara yang diwakili oleh pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan identitas kepada setiap orang yang telah memenuhi syarat sebagai warga negara, sehingga menjadi jelas pihak rakyat yang memang memiliki hak untuk berdaulat dalam suatu wilayah negara.
Dalam praktek pemerintahan, warga negara yang dipandang telah memiliki hak untuk memperoleh KTP, dikenai retribusi. Pengenaan retribusi itu sebagai imbalan atas pelayanan jasa pemerintah untuk menerbitkan KTP. Tidak jarang ditemui juga bahwa ada pihak pemerintah yang mengampanyekan penerbitan KTP gratis sebagai bentuk propaganda program untuk menarik simpati rakyat dalam suatu ajang politik. Jika dicermati secara seksama, hal yang harus dipahami oleh para penyelenggara pemerintahan adalah penerbitan KTP bagi warga negara merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk memenuhi hak warga negara guna memiliki identitas sebagai warga negara dalam suatu wilayah hukum pemerintahan negara, sehingga warga negara tersebut memiliki hubungan hukum dengan negara di mana ia menetap agar hak-haknya sebagai warga negara dapat terlayani serta bertanggung jawab penuh untuk menjalankan kewajibannya terhadap negara.
Secara filosofis, setiap orang yang akan mengakses hak tidak harus mengeluarkan biaya. Oleh karena dalam hubungan hukum antara rakyat dan negara, KTP merupakan hak warga negara, pelayanan untuk menerbitkan KTP merupakan kewajiban negara memberikan identitas kepada warga negara yang memiliki kedaulatan atas negara ini, penerbitan KTP oleh pemerintah yang menjalankan fungsi-fungsi negara haruslah dibebaskan dari berbagai bentuk biaya yang dibebankan kepada warga negara (rakyat) sang pemilik kedaulatan di Negara Indonesia sesuai amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar