Senin, 03 Oktober 2011

Memotret Kinerja DPRD

Memotret Kinerja DPRD | Rudy Tonubessi


MEMOTRET KINERJA DPRD
Oleh: Rudy Tonubessi


Pendulum kekuasaan, executive heavy di era Orde Baru yang bergeser ke arah legislative heavy di Era Reformasi, menempatkan fungsi lembaga legislatif (DPRD) menjadi sangat strategis. Ketika daerah deberi tanggungjawab mengurus rumah-tangganya sendiri sebagaimana hakikat otonomi daerah, DPRD memperoleh wewenang memproduksi sekaligus mengendalikan berbagai kebijakan di daerah. Pemberian kewenangan tersebut berangkat dari suatu asumsi bahwa keberadaan para anggota DPRD telah memiliki kemampuan sumberdaya yang dipandang telah memahami dan mampu menjalankan fungsi, tugas serta komitmennya sebagai pengemban amanat  rakyat di tengah-tengah tuntutan kehidupan masyarakat yang relatif cepat berubah.
Tidak jarang ditemui bahwa lembaga DPRD sering dijadikan arena pertarungan bagi para politisi dalam mengejar dan meraih berbagai kepentingan para politisi. Bagaimana tidak? Dengan posisi yang memiliki peran sebagai penentu akhir dari produk suatu kebijakan di daerah, para anggota DPRD memanfaatkan peluang tersebut untuk melakukan “tawar-menawar” yang berorientasi pada kepentingan politik bahkan materi yang berimplikasi semakin meluasnya lokus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Konspirasi. Tindakan “kong-kalikong” antara para anggota DPRD dan pihak eksekutif untuk memperoleh pekerjaan proyek daerah, merekrut tanaga honorer daerah tanpa melalui proses yang transparan, melakukan perjalanan dinas dengan biaya yang amat besar tanpa memperhitungkan kemampuan keuangan daerah, meminta berbagai fasilitas dengan mengabaikan kepentingan umum dan mengutamakan kepentingan kelompok politik para anggota DPRD, serta bertindak seolah-olah mewakili rakyat untuk menutupi perilaku oligarkis, merupakan potret yang tidak jarang dipertontonkan kepada rakyat.
Kejadian di beberapa daerah di mana DPRD justru menempatkan diri sebagai lawan eksekutif, kurang etis, dan cenderung picky atau ikut campur dalam urusan administrasi pemerintahan daerah. Bambang Yudoyono (2001) dalam bukunya “Otonomi Daerah” menulis sejumlah perilaku beberapa anggota DPRD, diantaranya: (i) Keluar masuk ruangan kerja para pejabat Pemerintah Daerah (struktural dan fungsional/Pimpro) untuk memeriksa kuitansi, membuka brankas dan menghitung uang yang ada di dalamnya, menunggui pengerjaan jalan (pengaspalan) dengan mengukur ketebalan aspal, serta menanyai Pimpro seperti layaknya seorang inspektur atau pemeriksa; (ii) Meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan setara eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah atau kapling tanah, dan sebagainya, tanpa menghiraukan kemampuan PAD-nya; (iii) Meminta anggaran untuk DPRD dalam jumlah besar tanpa perhitungan yang rasional dan proporsional. Di beberapa daerah ditemui anggaran DPRD yang berjumlah sekitar 60% ke atas dari Pendapatan Asli Daerah. Bahkan ada kabupaten yang anggaran untuk DPRD mencapai 100% sampai 135% dari PAD. Hal ini dinilai jelas tidak etis dan tidak rasional. Karena DPRD dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat, jika menggunakan 100% PAD untuk keperluan kegiatannya, berarti tidak menyisakan penggunaan anggaran untuk kepentingan pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat sebagai tugas umum yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; (iv) Dalam menggunakan anggaran, di beberapa daerah dijumpai tidak bersedia diperiksa oleh pejabat dari Inspektorat Daerah. Padahal setiap sumber dana yang berasal dari APBD harus diperiksa oleh perangkat pemeriksa daerah.

Pelaksanaan Fungsi-fungsi DPRD
David Apter (1985) dalam bukunya “Pengantar Analisa Politik” menulis bahwa fungsi pertama Badan Legislatif dalam semua sistem demokrasi adalah mewakili rakyat, dan fungsi keduanya adalah membuat undang-undang atas nama mereka (penulis: rakyat). Dalam konteks Indonesia, fungsi lembaga legislatif di daerah (DPRD) secara eksplisit dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, yakni: fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi kontrol. Dua fungsi yang pertama (legislasi dan anggaran) menempatkan hubungan kekuasaan secara horisontal antara DPRD dan Kepala Daerah, sedangkan fungsi kontrol menempatkan hubungan kekuasaan yang vertikal di mana DPRD diberi wewenang untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas eksekutif -- dan  tidak sebaliknya -- dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan di daerah.
Fungsi legislasi merupakan kewenangan membentuk Peraturan Daerah (PERDA). Implementasi fungsi ini baik DPRD maupun Kepala Daerah diberi hak untuk mengajukan rancangan PERDA guna dibahas dan mendapatkan persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah. Dalam prakteknya, sangat jarang ditemui – untuk tidak mengatakan tidak pernah – DPRD menggunakan hak inisitifnya mengajukan usul Rancangan PERDA sebagai bentuk tanggungjawabnya mewakili rakyat menata kehidupan bersama dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Fungsi anggaran merupakan kewenangan DPRD untuk menetapkan APBD bersama kepala daerah. Pelaksanaan fungsi ini dalam bentuk pembahasan Rancangan APBD bersama Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama sehingga melahirkan produk dalam bentuk APBD. Fungsi ini merupakan bagian dari kebijakan publik yang di desain dalam bentuk program-program pembangunan dengan pembiayaan APBD yang diarahkan dalam rangka menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat di daerah. Rancangan APBD ini selalu berasal dari pihak Pemerintah (eksekutif) dan belum pernah ditemui usulan yang berasal dari DPRD. 
Fungsi kontrol adalah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan-perundang-undangan serta kebijakan yang dilaksanakan Pemerintah Daerah. Secara empirik fungsi ini dijalankan pada aras pragmatis dan masih jauh dari substansi pengawasan itu sendiri. Pengawasan (kontrol) pihak DPRD terhadap kebijakan pemerintah hanya mencapai tingkat out-put suatu program dan hampir sulit bagi para anggota DPRD untuk dapat melakukan analisis kinerja dari suatu program hingga pada taraf out-come bahkan benefit maupun impact.

Identifikasi Penyebab
Gambaran perilaku anggota DPRD di seantero tanah air, dapat memberikan gambaran masih teramat jauh harapan rakyat terhadap kinerja para wakil rakyat. tidak dipungkiri juga, ada sejumlah anggota DPRD yang dipandang mampu memainkan perannya sebagai wakil rakyat, namun secara empirik jumlahnya relatif lebih sedikit. Permasalahan mendasar yang menyebabkan tampilnya wakil rakyat seperti digambarkan di atas adalah rekrutmen politik partai yang asal-asalan.

Abdul Bari Azed (2000) mengutip pendapat Moshe Czudnoskwi yang mengatakan bahwa menjadi wakil rakyat sebagai manifestasi perwakilan politik paling tidak dibutuhkan orang-orang yang populer sekaligus berkualitas serta memiliki ikatan emosional dengan pihak yang diwakili. Popularitas seorang calon wakil rakyat memungkinkan ia terpilih dalam pemilihan umum, sedangkan kualitas (baca: kapasitas intelektual) memungkinkan seorang wakil rakyat mampu menganalisis berbagai persoalan yang dialami masyarakat untuk kemudian dicarikan solusinya dalam bentuk kebijakan publik yang diarahkan guna menjawab tuntutan dan permasalahan tersebut. Ikatan emosional dengan pihak yang diwakili mengharuskan seorang wakil rakyat memahami akan eksistensinya sebagai wakil rakyat yang harus bertindak atas kehendak rakyat yang ia wakili.
Secara ideal, ketiga syarat tersebut harus dimiliki oleh setiap orang yang hendak mencalonkan dirinya menjadi anggota DPRD. Popularitas seorang calon anggota DPRD tanpa kapasitas intelektual, hanya memungkinkan ia terpilih menjadi anggota DPRD, namun akan gagap menghadapi tugas-tugas dalam menjalankan fungsi DPRD. sebaliknya, jika seseorang hanya memiliki kapasitas intelektual tanpa memiliki populatitas, akan sulit terpilih manjadi anggota DPRD. Dengan memenuhi kedua syarat tersebut, setiap anggota DPRD harus pula memiliki hubungan emosional yang kuat dengan masyarakat pemilih yang memungkinkan ia dapat memiliki kepercayaan dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD adalah kapasitas pribadi anggota DPRD. Kapasitas pribadi ini berkaitan dengan sejumlah pengalaman yang diperoleh secara sengaja maupun tidak sengaja dalam kehidupan yang turut mempengaruhi kualitas diri seseorang sebelum yang bersangkutan menjadi anggota DPRD. Pengalaman tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal, serta berbagai aktifitas sebelum menjadi anggota DPRD. Secara empirik, tingkat pendidikan para anggota DPRD amat beragam. Jika dikaitkan dengan tugas yang harus dijalankan oleh setiap anggota DPRD berkaitan dengan fungsi-fungsi DPRD, bukan hal yang mustahil dibutuhkan kualitas individu yang benar-benar memahami dan mampu menjalankan perannya sebagai wakil rakyat dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi lembaga DPRD.
Tingkat pendidikan seseorang turut menentukan kapasitas dan kualitas seseorang   dalam mengemban suatu tugas yang dipercayakan kepadanya. Sebagai wakil rakyat yang memiliki kewenangan dalam bidang legislasi, yakni membentuk Peraturan Daerah dibutuhkan kemampuan serta ketrampilan legal drafting. Begitu pula dalam perannya menjalankan fungsi anggaran, setiap wakil rakyat dituntut memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan, menganalisis, menentukan alternatif pemecahan masalah, dan memilih salah satu alternatif untuk dituangkan dalam bentuk program (kebijakan publik) yang akan dibiayai APBD dalam rangka menjawab tuntutan kehidupan rakyat di daerah. Kemampuan legal drafting dan kapasitas merumuskan kebijakan publik hanya diperoleh pada jenjang pendidikan minimal strata-1. Tidak semua jenjang pendidikan Strata-1 memperoleh pengetahuan dalam bidang legal drafting maupun perumusan kebijakan publik, apalagi dengan jenjang pendidikan setingkat SMA. Dengan komposisi jenis dan jenjang pendidikan para wakil rakyat di lembaga DPRD yang amat beragam, jelas akan mempengaruhi kemampuan wakil rakyat tersebut dalam mengemban peran secara efektif sesuai dengan fungsi-fungsi lembaga yang teremban padanya. Pengalaman empirik, dengan berbagai kegiatan work-shop atau diklat yang diikuti berulang-ulang oleh para anggota DPRD, tidak cukup mampu mendongkrak kapasitas para anggota DPRD untuk menjalankan fungsi-fungsi lembaga DPRD secara efektif.
Dengan pengalaman yang relatif terbatas bagi anggota DPRD relatif menyulitkan pula dalam membangun komunikasi dengan pihak eksekutif yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman dalam bidang tugas mereka. Tidak mungkin dipungkiri bahwa pihak eksekutif relatif lebih menguasai bidang tugas pemerintahan jika dibandingkan dengan anggota DPRD. Hal demikian wajar oleh karena pihak eksekutif merupakan orang-orang yang secara tetap bekerja di lingkungan pemerintahan, sedangkan anggota DPRD secara periodik 5 (lima) tahun sekali mengalami pergantian. Praktis anggota DPRD tidak cukup menguasai secara detail berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, apalagi berbagai data dan informasi berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berada pada pihak eksekutif.
Faktor lainnya yang juga mempengaruhi kinerja DPRD adalah motivasi menjadi anggota DPRD. Motivasi berkaitan dengan kemauan yang tulus dari wakil rakyat untuk benar-benar mengabdi (mengutamakan) kepentingan rakyat. Disadari benar bahwa faktor ini sulit dideteksi, namun paling tidak, motivasi tersebut dapat dinampakkan lewat ekspresi sikap dan tindakan para wakil rakyat yang dapat memenuhi harapan rakyat. Jenis motivasi setiap anggota DPRD akan sangat menentukan kualitas kerja dan kinerjanya. Bagi yang memiliki motivasi sekedar memperoleh pendapatan (motif ekonomi), diyakini kinerjanya tidak maksimal karena lebih dominan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan ekonomis dari peran-peran politiknya di lembaga DPRD. Sebaliknya, anggota DPRD yang motivasinya terkait dengan peran-peran ideal dari anggota-anggota legislatif sudah tentu cenderung memberikan (menunjukkan) kinerja kerja yang lebih baik.
Peran partai politik dalam menjalankan fungsinya pun tidak luput dari tanggungjawabnya menyiapkan kader partai yang paripurna sehingga dapat menjalankan peran sebagai wakil rakyat. Fungsi partai melakukan pendidikan politik menjadi penting dalam mempersiapkan calon anggota DPRD. Proses rekrutmen tanpa mempertimbangkan kapasitas seseorang yang akan dicalonkan menjadi anggota DPRD pun turut memberikan kontribusi terhadap lemahnya kinerja para anggota DPRD. Nampak kecenderungan partai politik dalam melakukan rekrutmen calon anggota DPRD hanya untuk meraup suara pemilih sebanyak-banyaknya, tanpa mempertimbangkan kualitas calon anggota DPRD. Rekrutmen yang asal-asalan inilah yang menghasilkan para wakil rakyat, baik pada aras nasional maupun pada aras regional dan lokal yang telah mempertontonkan kinerja yang dipandang buruk di mata masyarakat.

Bagaimana Solusinya?
Perbaikan rekrutmen politik menjadi faktor determinan dalam memperbaiki kinerja lembaga DPRD. Partai politik dituntut untuk dapat menjalankan fungsinya secara optimal. Pendidikan politik, kaderisasi, dan rekrutmen politik harus dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan kebutuhan sumberdaya manusia yang dipandang mampu menjalankan peran sebagai wakil rakyat dalam melaksanakan fungsi-fungsi lembaga DPRD. Di samping itu, pelembagaan kontrol sosial  terhadap kinerja para anggota DPRD perlu didukung dengan perangkat aturan yang memungkinkan bagi rakyat pemilih (konstituen) untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja anggota DPRD. Lembaga recalling hendaknya diefektifkan dengan melibatkan rakyat pemilih guna menilai apakah seorang wakil rakyat harus di-recall atau tidak. Hal ini perlu agar tidak ada pertimbangan subjektif dari partai politik untuk me-recall anggota DPRD yang dipandang “vokal” membela hak rakyat dan dipandang tidak menguntungkan para elite partai dan elite pengauasa pemerintahan.
Kita tunggu, semoga akan hadir para anggota DPRD yang benar-benar mewakili rakyat, dan bukan mewakili diri sendiri atau kelompok politik tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar