Fungsi Recall
Oleh: Rudy Tonubessi
Recall di sini dimaknai sebagai hak partai politik untuk menarik kembali atau
mengusulkan pemberhentian anggota DPR/DPRD dari jabatannya sebelum masa jabatan
anggota DPR/DPRD yang bersangkutan berakhir. Terkait dengan kategori
alasan-alasan yang dapat menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan,
kehadiran lembaga recall paling tidak
memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai sarana kontrol terhadap kinerja dan
integritas Anggota DPR/DPRD; dan (ii) menjadi “senjata politik” bagi elite partai politik untuk “membunuh”
anggota DPR/DPRD yang dipandang berseberangan dengan kebijakan partai politik
yang bersangkutan. Fungsi recall yang
pertama tidak banyak diperdebatkan, namun fungsi recall yang kedua memunculkan sejumlah diskursus terutama dalam
ilmu hukum, dan ilmu politik.
Munculkan diskursus tersebut, ketika hak recall diberikan kepada partai politik melalui Undang-Undang
tentang Partai Politik. Partai politik dapat me-recall DPR/DPRD dengan terlebih dahulu diberhentikan dari
keanggotaan partai politik hanya dengan alasan anggota tersebut melanggar
AD/ART partai politik yang bersangkutan. Pemberhentian sebagai anggota partai
politik dapat ditindaklanjuti oleh pimpinan partai politik untuk mengusulkan pemberhentian
anggota DPRD/DPRD kepada pimpinan DPR/DPRD. Penggunaan hak recall oleh partai politik ini menjadi menarik untuk dikaji oleh
karena hak recall partai politik
cenderung digunakan atas dasar pertimbangan politis semata untuk menyingkirkan
anggota DPR/DPRD yang terlampau vokal dan bertindak di luar kebijakan partai
politik yang bersangkutan. Elite
partai politik cenderung memainkan “kartu as” recall untuk menaklukkan anggota DPR/DPRD di bawah kedaulatan
partai politik, dan cenderung mengabaikan kedaulatan rakyat.
Sarana Kontrol Kinerja dan Integritas Anggota
DPR/DPRD
Tuntutan agar para wakil rakyat (anggota DPR/DPRD) menunjukkan kinerja
serta integritas yang baik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Keharusan
ini merupakan suatu konsekuensi dari setiap orang yang tampil menjadi pejabat
publik yang dipilih oleh rakyat secara langsung guna terlibat dalam pengambilan
keputusan Negara demi kesejahteraan masyarakat secara umum. Patrick J. Dobel mengedepankan tujuh
prinsip integritas publik yang harus dijalankan oleh setiap pejabat publik,
yaitu:
(i) pejabat
publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang melegitimasi
kekuasaan pemerintah yang konstitusional dengan menghormati setiap warga negara
sebagai yang memiliki martabat, hak-hak asasi, dan kesetaraan di depan hukum;
(ii) pejabat publik harus menyetujui untuk menomorduakan keputusan pribadi
dengan menghargai hasil dari proses yang sah secara hukum dan sesuai dengan
pertimbangan profesional; (iii) mereka harus akuntabel terhadap semua tindakan baik
terhadap atasan maupun publik, serta jujur dan tepat ketika
mempertanggungjawabkannya; (iv) mereka harus bertindak secara kompeten dan
efektif dalam mencapai tujuan dengan batas-batas yang sudah ditetapkan; (v)
mereka harus menghindari favoritisme, berusaha independen dan objektif dengan
tetap mendasarkan pada alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil
keputusan; (vi) mereka setuju untuk menggunakan dana publik secara hati-hati
dan efisien untuk tujuan-tujuan yang telah disetujui, bukan untuk kepentingan
pribadi atau kelompoknya; (vii) mereka harus menjaga kepercayaan dan legitimasi
lembaga-lembaga Negara.
Tujuh prinsip integritas publik yang dikemukakan Patrick J. Dobel di atas, harus dijadikan konsensus etis antara
rakyat dan wakil rakyat. Konsensus etis tersebut merupakan konsekuensi dari
proses pemilihan umum di mana rakyat – sang pemilik kedaulatan – telah memilih
secara langsung para wakil rakyat yang akan bertindak mewakili rakyat dalam
berbagai proses pengambilan keputusan dan kebijakan Negara. Hal ini perlu untuk
mengarahkan tanggungjawab bagi setiap pejabat publik (termasuk anggota
DPR/DPRD) agar menunjukkan tindakan-tindakan yang harus dipenuhi dalam rangka
peningkatan kualitas pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Karenanya,
sejumlah alasan yang dapat menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, memiliki relevansi dengan ketujuh prinsip integritas publik.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, empat kategori alasan yang
menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan antarwaktu (recall), yaitu: (i) administratif, (ii)
berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD, (iii) hukum dan (iv)
politis. Kategori alasan administratif, dan alasan yang berkaitan dengan
kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD merupakan kewenangan Badan Kehormatan
DPR/DPRD untuk melakukan kontrol atas semua tindakan dan keadaan yang dijalani
oleh anggota DPR/DPRD. Sedangkan kategori alasan hukum serta alasan yang
bersifat politik merupakan kewenangan dari pimpinan partai politik untuk
melakukan kontrol dan penilaian terhadap anggotanya yang duduk dalam lembaga
perwakilan rakyat (DPR/DPRD).
Alasan yang bersifat administratif, yakni jika anggota DPR/DPRD tidak
lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR/DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pemilihan umum anggota DPR. DPD, an DPRD. Syarat-syarat sebagai calon
anggota DPR/DPRD dimaksud adalah:
(i) Warga
Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; (ii)
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (iii) bertempat tinggal di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia; (iv) cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam
bahasa Indonesia; (v) berpendidikan paling rendah tamat SMA, MA, SMK, MAK, atau
bentuk lain yang sederajat; (vi) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (vii) tidak pernah dijatuhi
pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih; (viii) sehat jasmani dan rohani; (ix) terdaftar
sebagai pemilih; (x) bersedia bekerja penuh waktu; (xi) mengundurkan diri
sebagai PNS, anggota TNI, anggota POLRI, pengurus pada BUMN dan/atau BUMD,
serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang
dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali;
(xii) bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik,
advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak
melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan
negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan
tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR/DPRD sesuai peraturan
perundang-undangan; (xiii) bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai
pejabat negara lainnya, pengurus pada BUMN, dan BUMD, serta badan lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara; (xiv) menjadi anggota Partai
Politik Peserta Pemilihan Umum; (xv) dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga
perwakilan; dan (xvi) dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.
Alasan-alasan yang berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota
DPR/DPRD memuat hal-hal yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab moral
setiap anggota DPR/DPRD untuk menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya secara
optimal. Terdapat 4 (empat) alasan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan
berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD, yaitu:
(i) Tidak
dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai
anggota DPR/DPRD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; (ii) melanggar
sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR/DPRD; (iii) tidak menghadiri rapat
paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR/DPRD yang menjadi tugas dan
kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; (iv) dan
melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
Terdapat sejumlah ketentuan larangan bagi setiap anggota DPR/DPRD.
Hal-hal yang dilarang untuk tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota DPR/DPRD
yang dapat menyebabkan pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD, yaitu:
(i) merangkap
jabatan sebagai: pejabat negara atau pejabat daerah lainnya; hakim pada badan
peradilan, atau PNS, anggota TNI/POLRI, pegawai pada BUMN, BUMD, atau badan
lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD; (ii) melakukan pekerjaan
sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik,
konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada
hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR/DPRD serta hak sebagai anggota
DPR/DPRD; dan (iii) melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang
menerima gratifikasi.
Alasan hukum karena anggota DPR/DPRD dinyatakan bersalah berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sedangkan alasan yang bersifat politis sangat bergantung atas kontrol dan
penilaian pimpinan partai politik terhadap anggotanya yang sedang menjabat
sebagai anggota DPR/DPRD. Alasan pemberhentian anggota DPR/DPRD yang
dikategorikan sebagai alasan politis ini merupakan fungsi recall sebagai “senjata politik” elite partai akan dibahas pada bagian berikut.
Pilihan setiap orang untuk untuk bertarung dalam pemilihan umum merebut
kursi wakil rakyat bukan semata-mata untuk memperoleh posisi sebagai pejabat
publik, namun diikuti oleh suatu tanggung jawab moral untuk mengemban amanat
penderitaan rakyat. Adanya lembaga perwakilan dalam suatu negara demokrasi,
bukan disediakan untuk orang-orang yang ingin berkuasa, tetapi untuk
menjalankan tanggungjawab memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara umum.
Karena itu, untuk menjaga agar wewenang, tugas dan fungsi yang harus dijalankan
oleh orang-orang yang memperoleh kepercayaan rakyat menjadi anggota DPR/DPRD,
sejumlah norma konkrit ditegaskan guna mengoptimalkan semua tanggungjawab yang
teremban di pundak setiap orang yang terpilih menjadi wakil rakyat.
Mencermati larangan, serta alasan-alasan yang dapat menyebabkan anggota
DPR/DPRD diberhentikan antarwaktu, pelaksanaan recall merupakan sesuatu hal yang wajar. Dapat dibayangkan jika
lembaga recall ditiadakan, di mana
tidak ada mekanisme pemberhentian anggota DPR/DPRD sekalipun mereka melakukan
kesalahan. Karena itu, keberadaan lembaga recall
diperlukan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja dan integritas anggota
DPR/DPRD. Anggota DPR/DPRD yang di-recall karena alasan kinerja dan
integritas anggota DPR/DPRD dipandang telah mengingkari eksistensi dirinya
sebagai pengemban amanat rakyat yang harus berjuang meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat melalui peran dan fungsi lembaga DPR/DPRD. Dengan demikian
jika terpenuhi salah satu syarat recall,
anggota DPR/DPRD tersebut dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Hal ini
sejalan dengan eksistensi dari suatu negara hukum, di mana kehadiran hukum
untuk membatasi kekuasaan yang selalu memiliki kecenderungan untuk
disalahgunakan sebagaimana ungkapan yang dikemukakan oleh Lord Acton, yakni: “manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk
menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak
terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula (power tends to corrupt, but absolute power
corrupts absolutely)”.
Sebagai “Senjata Politik” Elite Partai
Hak recall diberikan pula
kepada partai politik melalui Undang-Undang tentang Partai Politik. Ketentuan
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, memberikan
kewenangan kepada partai politik untuk dapat me-recall anggotanya yang duduk di lembaga DPR/DPRD dengan alasan
anggota tersebut melanggar Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART)
partai. Pemberhentian sebagai anggota partai politik ini diikuti dengan
pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD.
Beberapa alasan tersebut dipandang wajar dalam melakukan recall. Terdapat dua alasan yang
dipandang kental memiliki muatan politis, yakni: (i) “diusulkan oleh partai
politiknya…” dan (ii) “diberhentikan sebagai anggota partai politik …”. Terkait
dengan dua alasan ini, referensi yuridis yang dapat digunakan oleh partai
politik adalah bahwa anggota melanggar ketentuan Anggaran Dasar, dan Anggaran
Rumah Tangga partai. Hal
inilah yang menjadi titik pangkal permasalahan, di mana hak recall partai politik cenderung didasarkan
atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap tindakan
anggotanya yang menjadi anggota DPR/DPRD diluar garis kebijakan partai,
maka partai politik akan
me-recall-nya dari keanggotaan
DPR/DPRD.
Penggunaan hak recall partai politik, secara empirik relatif banyak digunakan
untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD yang dinilai
tidak
tunduk pada kebijakan partai. Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa hak recall partai politik menjadi sebuah bayang-bayang
ancaman yang mengintimidasi – walau pun tidak secara langsung – anggota DPR/DPRD untuk menyuarakan
aspirasi konstituennya. Hak Recall partai
politik
seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan anggota DPR/DPRD untuk berekspresi
dan bertindak sesuai hati nuraninya. Kekuasaan elite partai politik begitu besar sehingga para anggotanya yang
menjadi anggota DPR/DPRD “dipaksa” untuk menundukkan diri pada kekuasaan elite partai. Kadangkala pertimbangan-pertimbangan
politis yang cenderung mendukung suatu kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali
menjadi sebab di-recall-nya seorang anggota DPR/DPRD yang justru bersikap
vokal dan kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Tidak jarang ditemui recall
menjadi sarana efektif para elite partai untuk menyingkirkan
anggota DPR/DPRD yang berseberangan dengan kepentingan para elite partai politik. Akibatnya eksistensi anggota DPR/DPRD sangat tergantung pada selera para elite partai,
sehingga menggeser orientasi anggota DPR/DPRD menjadi penyalur kepentingan para elite
partai, padahal keberadaan anggota DPR/DPRD
bukan karena penunjukan partai politik, tetapi karena
dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, bebas, jujur dan
adil. Praktek
seperti ini yang mendasari lahirnya pengertian Recall dalam khasanah perpolitikan Negara Republik Indonesia
sebagai: “penarikan kembali
anggota DPR/DPRD oleh induk partainya, karena dinilai melakukan penyimpangan,
menentang kebijakan partai, konflik dengan pengurus partai atau terlalu kritis
pada pemerintah yang tidak sesuai dengan kebijakan partai.” Di sinilah letaknya hak recall partai politik dijadikan sebagai
“senjata politik” para elite partai
untuk “membunuh” anggota DPR/DPRD yang dinilai tidak sejalan dengan “keinginan”
dan “kemauan” para elite partai.
Celah hukum yang digunakan oleh para elite
partai untuk men-justifikasi tindakan
tersebut hanya dengan alasan melanggar ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga partai politik bersangkutan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar