Selasa, 01 November 2011

Fungsi Recall


Fungsi Recall
Oleh: Rudy Tonubessi

Recall di sini dimaknai sebagai hak partai politik untuk menarik kembali atau mengusulkan pemberhentian anggota DPR/DPRD dari jabatannya sebelum masa jabatan anggota DPR/DPRD yang bersangkutan berakhir. Terkait dengan kategori alasan-alasan yang dapat menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan, kehadiran lembaga recall paling tidak memiliki dua fungsi, yaitu: (i) sebagai sarana kontrol terhadap kinerja dan integritas Anggota DPR/DPRD; dan (ii) menjadi “senjata politik” bagi elite partai politik untuk “membunuh” anggota DPR/DPRD yang dipandang berseberangan dengan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Fungsi recall yang pertama tidak banyak diperdebatkan, namun fungsi recall yang kedua memunculkan sejumlah diskursus terutama dalam ilmu hukum, dan ilmu politik.
Munculkan diskursus tersebut, ketika hak recall diberikan kepada partai politik melalui Undang-Undang tentang Partai Politik. Partai politik dapat me-recall DPR/DPRD dengan terlebih dahulu diberhentikan dari keanggotaan partai politik hanya dengan alasan anggota tersebut melanggar AD/ART partai politik yang bersangkutan. Pemberhentian sebagai anggota partai politik dapat ditindaklanjuti oleh pimpinan partai politik untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPRD/DPRD kepada pimpinan DPR/DPRD. Penggunaan hak recall oleh partai politik ini menjadi menarik untuk dikaji oleh karena hak recall partai politik cenderung digunakan atas dasar pertimbangan politis semata untuk menyingkirkan anggota DPR/DPRD yang terlampau vokal dan bertindak di luar kebijakan partai politik yang bersangkutan. Elite partai politik cenderung memainkan “kartu as” recall untuk menaklukkan anggota DPR/DPRD di bawah kedaulatan partai politik, dan cenderung mengabaikan kedaulatan rakyat.

Sarana Kontrol Kinerja dan Integritas Anggota DPR/DPRD
Tuntutan agar para wakil rakyat (anggota DPR/DPRD) menunjukkan kinerja serta integritas yang baik merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Keharusan ini merupakan suatu konsekuensi dari setiap orang yang tampil menjadi pejabat publik yang dipilih oleh rakyat secara langsung guna terlibat dalam pengambilan keputusan Negara demi kesejahteraan masyarakat secara umum. Patrick J. Dobel mengedepankan tujuh prinsip integritas publik yang harus dijalankan oleh setiap pejabat publik, yaitu:

(i) pejabat publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang melegitimasi kekuasaan pemerintah yang konstitusional dengan menghormati setiap warga negara sebagai yang memiliki martabat, hak-hak asasi, dan kesetaraan di depan hukum; (ii) pejabat publik harus menyetujui untuk menomorduakan keputusan pribadi dengan menghargai hasil dari proses yang sah secara hukum dan sesuai dengan pertimbangan profesional; (iii) mereka harus akuntabel terhadap semua tindakan baik terhadap atasan maupun publik, serta jujur dan tepat ketika mempertanggungjawabkannya; (iv) mereka harus bertindak secara kompeten dan efektif dalam mencapai tujuan dengan batas-batas yang sudah ditetapkan; (v) mereka harus menghindari favoritisme, berusaha independen dan objektif dengan tetap mendasarkan pada alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil keputusan; (vi) mereka setuju untuk menggunakan dana publik secara hati-hati dan efisien untuk tujuan-tujuan yang telah disetujui, bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya; (vii) mereka harus menjaga kepercayaan dan legitimasi lembaga-lembaga Negara.

Tujuh prinsip integritas publik yang dikemukakan Patrick J. Dobel di atas, harus dijadikan konsensus etis antara rakyat dan wakil rakyat. Konsensus etis tersebut merupakan konsekuensi dari proses pemilihan umum di mana rakyat – sang pemilik kedaulatan – telah memilih secara langsung para wakil rakyat yang akan bertindak mewakili rakyat dalam berbagai proses pengambilan keputusan dan kebijakan Negara. Hal ini perlu untuk mengarahkan tanggungjawab bagi setiap pejabat publik (termasuk anggota DPR/DPRD) agar menunjukkan tindakan-tindakan yang harus dipenuhi dalam rangka peningkatan kualitas pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Karenanya, sejumlah alasan yang dapat menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, memiliki relevansi dengan ketujuh prinsip integritas publik.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, empat kategori alasan yang menyebabkan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan antarwaktu (recall), yaitu: (i) administratif, (ii) berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD, (iii) hukum dan (iv) politis. Kategori alasan administratif, dan alasan yang berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD merupakan kewenangan Badan Kehormatan DPR/DPRD untuk melakukan kontrol atas semua tindakan dan keadaan yang dijalani oleh anggota DPR/DPRD. Sedangkan kategori alasan hukum serta alasan yang bersifat politik merupakan kewenangan dari pimpinan partai politik untuk melakukan kontrol dan penilaian terhadap anggotanya yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat (DPR/DPRD). 
Alasan yang bersifat administratif, yakni jika anggota DPR/DPRD tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR/DPRD sesuai dengan  ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR. DPD, an DPRD. Syarat-syarat sebagai calon anggota DPR/DPRD dimaksud adalah:

(i) Warga Negara Indonesia yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih; (ii) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (iii) bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (iv) cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia; (v) berpendidikan paling rendah tamat SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat; (vi) setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (vii) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; (viii) sehat jasmani dan rohani; (ix) terdaftar sebagai pemilih; (x) bersedia bekerja penuh waktu; (xi) mengundurkan diri sebagai PNS, anggota TNI, anggota POLRI, pengurus pada BUMN dan/atau BUMD, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali; (xii) bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT), dan tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR/DPRD sesuai peraturan perundang-undangan; (xiii) bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, pengurus pada BUMN, dan BUMD, serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (xiv) menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilihan Umum; (xv) dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; dan (xvi) dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.

Alasan-alasan yang berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD memuat hal-hal yang merupakan kewajiban dan tanggung jawab moral setiap anggota DPR/DPRD untuk menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya secara optimal. Terdapat 4 (empat) alasan seorang anggota DPR/DPRD diberhentikan berkaitan dengan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD, yaitu:

(i) Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR/DPRD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; (ii) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR/DPRD; (iii) tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR/DPRD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; (iv) dan melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.

Terdapat sejumlah ketentuan larangan bagi setiap anggota DPR/DPRD. Hal-hal yang dilarang untuk tidak boleh dilakukan oleh setiap anggota DPR/DPRD yang dapat menyebabkan pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD, yaitu:

(i) merangkap jabatan sebagai: pejabat negara atau pejabat daerah lainnya; hakim pada badan peradilan, atau PNS, anggota TNI/POLRI, pegawai pada BUMN, BUMD, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD; (ii) melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR/DPRD serta hak sebagai anggota DPR/DPRD; dan (iii) melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.

Alasan hukum karena anggota DPR/DPRD dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Sedangkan alasan yang bersifat politis sangat bergantung atas kontrol dan penilaian pimpinan partai politik terhadap anggotanya yang sedang menjabat sebagai anggota DPR/DPRD. Alasan pemberhentian anggota DPR/DPRD yang dikategorikan sebagai alasan politis ini merupakan fungsi recall sebagai “senjata politik” elite partai akan dibahas pada bagian berikut.
Pilihan setiap orang untuk untuk bertarung dalam pemilihan umum merebut kursi wakil rakyat bukan semata-mata untuk memperoleh posisi sebagai pejabat publik, namun diikuti oleh suatu tanggung jawab moral untuk mengemban amanat penderitaan rakyat. Adanya lembaga perwakilan dalam suatu negara demokrasi, bukan disediakan untuk orang-orang yang ingin berkuasa, tetapi untuk menjalankan tanggungjawab memperjuangkan kesejahteraan rakyat secara umum. Karena itu, untuk menjaga agar wewenang, tugas dan fungsi yang harus dijalankan oleh orang-orang yang memperoleh kepercayaan rakyat menjadi anggota DPR/DPRD, sejumlah norma konkrit ditegaskan guna mengoptimalkan semua tanggungjawab yang teremban di pundak setiap orang yang terpilih menjadi wakil rakyat.
Mencermati larangan, serta alasan-alasan yang dapat menyebabkan anggota DPR/DPRD diberhentikan antarwaktu, pelaksanaan recall merupakan sesuatu hal yang wajar. Dapat dibayangkan jika lembaga recall ditiadakan, di mana tidak ada mekanisme pemberhentian anggota DPR/DPRD sekalipun mereka melakukan kesalahan. Karena itu, keberadaan lembaga recall diperlukan untuk melakukan kontrol terhadap kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD. Anggota DPR/DPRD yang di-recall karena alasan kinerja dan integritas anggota DPR/DPRD dipandang telah mengingkari eksistensi dirinya sebagai pengemban amanat rakyat yang harus berjuang meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat melalui peran dan fungsi lembaga DPR/DPRD. Dengan demikian jika terpenuhi salah satu syarat recall, anggota DPR/DPRD tersebut dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Hal ini sejalan dengan eksistensi dari suatu negara hukum, di mana kehadiran hukum untuk membatasi kekuasaan yang selalu memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan sebagaimana ungkapan yang dikemukakan oleh Lord Acton, yakni: “manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula (power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely)”.

Sebagai “Senjata Politik” Elite Partai
Hak recall diberikan pula kepada partai politik melalui Undang-Undang tentang Partai Politik. Ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, memberikan kewenangan kepada partai politik untuk dapat me-recall anggotanya yang duduk di lembaga DPR/DPRD dengan alasan anggota tersebut melanggar Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) partai. Pemberhentian sebagai anggota partai politik ini diikuti dengan pemberhentian sebagai anggota DPR/DPRD.
Beberapa alasan tersebut dipandang wajar dalam melakukan recall. Terdapat dua alasan yang dipandang kental memiliki muatan politis, yakni: (i) “diusulkan oleh partai politiknya…” dan (ii) “diberhentikan sebagai anggota partai politik …”. Terkait dengan dua alasan ini, referensi yuridis yang dapat digunakan oleh partai politik adalah bahwa anggota melanggar ketentuan Anggaran Dasar, dan Anggaran Rumah Tangga partai. Hal inilah yang menjadi titik pangkal permasalahan, di mana hak recall partai politik cenderung didasarkan atas pertimbangan politis semata, apabila partai politik menganggap tindakan anggotanya yang menjadi anggota DPR/DPRD diluar garis kebijakan partai, maka partai politik akan me-recall-nya dari keanggotaan DPR/DPRD.
Penggunaan hak recall partai politik, secara empirik relatif banyak digunakan untuk memberhentikan anggota DPR/DPRD yang dinilai tidak tunduk pada kebijakan partai. Kondisi ini menimbulkan anggapan bahwa hak recall partai politik menjadi sebuah bayang-bayang ancaman yang mengintimidasi – walau pun tidak secara langsung – anggota DPR/DPRD untuk menyuarakan aspirasi konstituennya. Hak Recall partai politik seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan anggota DPR/DPRD untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya. Kekuasaan elite partai politik begitu besar sehingga para anggotanya yang menjadi anggota DPR/DPRD “dipaksa” untuk menundukkan diri pada kekuasaan elite partai. Kadangkala pertimbangan-pertimbangan politis yang cenderung mendukung suatu kebijakan pemerintah yang terindikasi bermasalah seringkali menjadi sebab di-recall-nya seorang anggota DPR/DPRD yang justru bersikap vokal dan kritis terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
         Tidak jarang ditemui recall menjadi sarana efektif para elite partai untuk menyingkirkan anggota DPR/DPRD yang berseberangan dengan kepentingan para elite partai politik. Akibatnya eksistensi anggota DPR/DPRD sangat tergantung pada selera para elite partai, sehingga menggeser orientasi anggota DPR/DPRD menjadi penyalur kepentingan para elite partai, padahal keberadaan anggota DPR/DPRD bukan karena penunjukan partai politik, tetapi karena dipilih oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, bebas, jujur dan adil. Praktek seperti ini yang mendasari lahirnya pengertian Recall dalam khasanah perpolitikan Negara Republik Indonesia sebagai: “penarikan kembali anggota DPR/DPRD oleh induk partainya, karena dinilai melakukan penyimpangan, menentang kebijakan partai, konflik dengan pengurus partai atau terlalu kritis pada pemerintah yang tidak sesuai dengan kebijakan partai.”  Di sinilah letaknya hak recall partai politik dijadikan sebagai “senjata politik” para elite partai untuk “membunuh” anggota DPR/DPRD yang dinilai tidak sejalan dengan “keinginan” dan “kemauan” para elite partai. Celah hukum yang digunakan oleh para elite partai untuk men-justifikasi tindakan tersebut hanya dengan alasan melanggar ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga partai politik bersangkutan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar